Minggu, 27 April 2014

Hasri Ainun Habibie, Isteri Soleha Setia

Hasri Aninun Habibie atau lebih popular dengan Ainun Habibie memiliki nama asli Hasri Ainun Besari. Hasri Ainun adalah nama dari bahasa Arab yang berarti seorang anak yang memiliki mata yang indah. Ainun merupakan anak keempat dari delapan bersaudara dari orang tua bernama H.Mohammad Besari. Ia dilahirkan di Semarang, Jawa Tengah pada tanggal 11 Agustus 1937.
Keluarga Ainun adalah keluarga yang mencintai pendidikan.Salah satu orang yang paling penting dalam mendorongnya untuk rajin belajar adalah ibunya. Ibu dari Ainun Habibie merupakan tokoh penting di balik kesukesan putrinya dalam pendidikan.

Pendidikan dan Pekerjaan
Ainun menyelesaikan pendidikan dasarnya di Bandung. Namun saya belum menemukan data yang pasti nama sekolahnya. Ia melanjutkan pendidikan di SLTP dan SLTA yang juga di Bandung. Sekolahnya di LSTP bersebelahan dengan sekolah B.J. Habibie yang kemudian menjadi suaminya. Bahkan saat di LSTA mereka sekolah di satu sekolah. Hanya saja Habibie menjadi kakak kelasnya. Setelah menampatkan pendidikan SLTA, ia merantau ke Jakarta dan melanjutkan pendidikan dengan kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta dan lulus sebagai dokter pada tahun 1961.
Berbekal ijazah kedokteran dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia tersebut, Ainun Habibie diterima bekerja di rumah sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Saat bekerja di sana ia tinggal di sebuah asrama di belakang RSCM, tepatnya di Jalan Kimia, Jakarta. Ia bekerja di rumah sakit tersebut hanya setahun saja, yakni sampai tahun 1962. Setelah menikah dengan Habibie pada tahun 1962 tersebut, ia harus meninggalkan pekerjaan sebagai dokter anak lalu ikut dengan suaminya ke Jerman yang sedang menyelsaikan pendidikan.
Kisah CInta dan Pernikahan
Makmur Makka, penulis Biografi Habibie mendapatkan informasi menarik mengenai kisah cinta Habibie. Ainun mengaku kalau ia dan Habibie sudah kenal sejak kecil, bahkan sekolah mereka berdekatan. Pada tahun 1986, Majalah Femina memuat cerita mengenai kisah ini. Ainun saat itu mengatakan:
“Kami kenal sejak kecil, dia teman bermain kelereng kaka saya. Rumah kami berdekatan ketika di Bandung. Di SLTP letak sekolah kami bersebelahan. Di SLTA malah satu sekolah, hanya Rudy (panggilan Habibie) satu kelas lebih tinggi.Dia selalu menjadi siswa paling kecil dan paling muda di kelas, begitu juga saya. Guru dan teman-teman acap kali berkelakar menjodoh-jodohkan kami. Yah, gadis mana yang suka diperolok demikian?”
Ainun dan Habibie memang banyak kesamaan sehingga mereka sering dijodoh-jodohkan. Antara lain mereka sama-sama anak ke empat dari delapan bersaudara dan sama-sama dibesarkan dalam keluarga yang berpendidikan. Selain itu mereka juga menjadi anak-anak yang beruntung karena memiliki ibu yang mendorong mereka untuk mengutamakan pendidikan. Kesamaan lain adalah, mereka sama-sama tinggal di Bandung dan sekolah di tempat yang sama.
Kisah cinta antara dua anak manusia ini memang sudah terlihat sejak mereka sama-sama sekolah. Setidaknya itu mulai terlihat saat mereka sekolah di SMA. Ainun adalah seorang gadis yang sangat suka berenang. Karena terlalu banyak dan sering berenang, kulitnya menjadi lebih hitam. Pada suatu hari saat jam istirahat belajar, Habibie lewat di depannya. Saat itu Habibie mengatakan: “Hei, kamu sekarang kok hitam dan gemuk?” Ungkapan ini menjadikan Ainun berfikir dan merasakan sebuah getaran aneh di dalam dadanya. “Apakah Habibie perhatian padanya?” Apalagi teman-temannya heran dengan kejadian itu dan mengatakan kalau Habibie memang perhatian padanya. Memang, saat itu Ainun memang menjadi pujaan di sekolahnya dan menjadi incaran banyak siswa laki-laki, termasuk Habibie. Habibie pernah mengomentari tentang Ainun dengan ungkapan: “Wah cakep itu anak, si item gula Jawa”.
Namun mereka berpisah cukup lama. Setelah lulus SMA, Habibie melanjutkan pendidikannya ke ITB Bandung, namun tidak sempat selesai. Habibie mendapat beasiswa pemerintah Indonesia dan kemudian berangkat ke Jerman Barat, untuk melanjutkan pendidikannya. Ia masuk ke Universitas Technische Hochscheule di kota Achen, Jerman. Tahun 1960 terhitung Habibie tidak pulang ke Indonesia selama tujuh tahun. Ini membuatnya sangat home sick, terutama ia sangat ingin mengunjungi pusara Bapaknya.
Setelah menanti agak lama, akhirnya Habibie punya kesempatan pulang ke Indonesia. Saat Habibie pulang ke Indonesia, ia berkesempatan menziarahi makam bapaknya di Ujung Pandang. Menjelang lebaran ia pulang ke Bandung dan bertamu ke rumah tetangganya yang lama, keluarga Ainun. Saat itu pula Ainun secara kebetulan sedang mengambil cuti di RSCM dan pulang ke Bandung. Di sanalah cinta lama bersemi kembali setelah sekian lama mereka tidak bersua. Saat berjumpa tersebut Habibie mengatakan: “Kok gula Jawa sekarang sudah menjadi gula pasir?”. Pertemuan mereka berlanjut di Jakarta. Habibie mengikuti Ainun yang kembali ke Jakarta untuk masuk kerja di RSCM. Di Jakarta Habibie tinggal di Jl. Mendut, rumah kakaknya yang tertua.
Sama-sama tinggal di Jakarta membuat cinta mereka semakin bersemi. Mereka saling berjanji untuk sering bertemu dan merindukan satu sama lain. Malam hari mereka pacaran dan melewati waktu dengan sangat indah. Sesekali mereka naik becak dengan jok tertutup, meskipun sebenarnya tidak hujan. Dan ketika mereka semakin dekat, Habibie menguatkan hati untuk mejatuhkan pilihannya pada Ainun. Ia melamar Ainun dan mempersunting menjadi istrinya.
Ainun disuntiung oleh BJ Habibie menjadi istrinya pada tanggal 12 Mei 1962. Mereka menghabiskan bulan madu di tiga kota. Kaliurang, Yogyakarta, dilanjutkan ke Bali lalu diakhiri di Ujung Pandang, daerah asal B. J. Habibie. Dari pernikahan ini mereka dikaruniai dua orang putra; llham Akbar dan Thareq Kemal dan enam orang cucu. Namun demikian dalam penganugerahan gelar Doktor kehormatan kepadanya oleh Universitas Indonesia, Habibie mengatakan kalau ia punya cucu ribuan jumlahnya: “Saya mau garis bawahi. Di usia saya yang 74 tahun ini, anak biologis saya cuma dua. Cucu biologis saya hanya enam. Tetapi anak cucu intelektual saya ribuan jumlahnya.” Tentu saja yang dimaksudkan Habibie adalah mahasiswanya yang tersebar di berbagai belahan dunia.
Menjadi Ibu dua Pangeran
Setelah menikah Ainun ikut dengan Hbibie yang harus menyelesaikan pendidikan doktoralnya di Jerman. Kehidupan awal di sana dilalui dengan perjuangan yang luar biasa. Setidaknya ia harus bersabar dengan pendapatan yang teramat kecil dari beasiswa Habibie. Namun dengan tekun dan sabar ia tetap menyertai Habibie. Bahkan untuk menghemat ia menjahit sendiri keperluan pakaian bayinya yang dikandungnya. Dan disanalah ia mengandung dua putranya, melahirkan dan mebesarkannya.
Ainun adalah seorang ibu yang sangat bertanggung jawab dalam mebesarkan anak-anaknya. Sejak kecil ia membiasakan anak untuk mengembangkan kepribadiannya sendiri. Ia membebaskan anak-anak untuk berani bertanya tentang hal yang tidak diketahuinya. Dan Ainun akan memberikan jawababn jika ia mampu atau ia akan meminta Habibie jika tidak mampu. Hal ini tentu saja karena ia sadar kalau anak-anak sejak kecil harus dibangun keingintahuan dan kreatifitasnya.
Selain itu Ainun juga membiasakan anaknya hidup sederhana. Uang jajan diberikan pas untuk satu minggu. Dengan demikian si anakmemiliki kebebasan untuk memilih jajanan yang mereka sukai. Anak-anak Ainun tumbuh sebagai anak yang menghargai kesederhanaan itu. Pernah mereka harus bolak-balik dari satu toko ke toko lain untuk mendapatkan harga yang pas sebelum membeli suatu barang.
Hal yang juga tidak kalah penting dalam mendidik anak adalah membiasakan mereka mengemukakan pendapat dengan mengajak mereka berdiskusi di rumah. Menurut Ainun, jika anak-anak berani mengeluarkan pendapat, artinya mereka sedang belajar dalam hidupnya. Dan bagi orang tua, itulah saatnya melaksanakan kewajiban memberikan bekal bagi kehidupan mereka.
Dan benar saja, hasil didikan itu menjadikan kedua anak mereka tumbuh sebagai seorang yang luar biasa. Seperti kita tahu bahwa Ilham Habibie menyelesaikan pendidikan di Muenchen dalam ilmu aeronautika dan meraih gelar PdD dengan predikat summa cumlaude, lebih tinggi dari predikat ayahnya. Sementara Thareq Kemal menyelesaikan Diploma Inggeneur di Braunsweig, Jerman.
Menjadi Ibu Negara
Pada 23 Mei 1998 Ainun menjadi menjadi Ibu Negara setelah B. J. Habibie dilantik sebagai presiden Negera Kesatuan Republik Indonesia yang ketiga menggantikan Presiden Soeharto yang mengundurkan diri karena desakan masyarakat pada awal reformasi. Tidak lama memang, hanya setahun lebih sedikit, setelah Habibie tidak bersedia untuk mengikuti pemilihan kepemimpinan karena laporan pertanggungjawabannya ditolak oleh DPR/MPR yang saat itu –mengutip Almarhum Gusdur- seperti anak TK. Meskipun secara konstitusi ia dibenarkan menjadi calon presiden, namun secara nurani dan moralitas Habibie merasa tidak nyaman. Selama itu pula Ainun menjadi seorang inspirator untuk sang presiden.
Penghargaan dan Dedikasi
Ainun memiliki kepedulian yang besar terhadap beberapa yayasan, seperti, Yayasan Beasiswa Orbit dan Bank Mata untuk penyantun mata tunanetra. Ia juga mencatat segudang prestasi besar selama hidupnya. Atas sumbangsihnya tersebut, Ainun mendapatkan beberapa penghargaan tertinggi bintang mahaputra. Penghargaan tersebut diberikan oleh pemerintah sebagai penghargaan kepada warga yang dianggap memiliki peran besar terhadap negara. Antara lain ia mendapatkan penghargaan Bintang Mahaputra Adipurna, juga Mahaputera Utama pada 12 Agustus 1982 serta Bintang Mahaputra Adipradana pada 6 Agustus 1998.
Sebuah dedikasi yang tidak kalah pentingnya dalam hubungannya dengan tunanetra adalah harapan Ainun agar pemerintah memberikan keleluasaan dan aturan yang menganjurkan untuk dilaksanakan donor mata. Menurut Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Jimmly Assidiqie, Bu Ainun mengharapkan adanya fatwa yang bukan hanya membolehkan donor mata tetapi menganjurkan dilakukannya donor mata. Karena menurut beliau ketentuan untuk donor mata di Indonesia penuh dengan syarat tertentu, beliau ingin donor mata bukan dibolehkan dengan syarat-syarat tetapi dianjurkan dengan prosedur tertentu. Ini jelas menunjukkan bagaimana ia berdedikasi pada persoalan yang dihadapi orang cacat dan berharap kita semua bisa membantunya.
Selamat Jalan Ibu
Seperti telah diberikatakan oleh banyak media, pada 24 Maret 2010, Hasri Ainun Habibie masuk ke rumah sakit Ludwig-Maximilians-Universitat, Klinikum Gro`hadern, Munchen, Jerman. Ainun berada di bawah pengawasan direktur Rumah Sakit Prof Dr Gerhard Steinbeck, yang juga spesialis penyakit jantung. Ia telah menjalani sembilan kali operasi dan empat kali dari sembilan operasi tersebut merupakan operasi utama. Sisanya merupakan operasi eksplorasi. Pukul 17.05 waktu Jerman, hari Sabtu tanggal 22 Mei 2010, Nyonya Ainun wafat dalam usia 72 tahun, setelah 45 tahun hidup bersama Habibie. Sebelum wafat, Nyonya Ainun sempat beberapa kali mengalami kritis. Namun jiwanya tidak terselamatkan lagi. Semua orang berasal dari Allah dan akan kembali kepada Allah. Selamat jalan ibu, kebaikan dan dedikasimu menjadi pelajaran sangat berharga bagi kami. (dikutip dari Kompas.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar