Hasri Aninun Habibie atau lebih popular dengan Ainun Habibie memiliki nama asli Hasri Ainun Besari. Hasri Ainun adalah nama dari bahasa Arab yang berarti seorang anak yang memiliki mata yang indah. Ainun merupakan anak keempat dari delapan bersaudara dari orang tua bernama H.Mohammad Besari. Ia dilahirkan di Semarang, Jawa Tengah pada tanggal 11 Agustus 1937.
Keluarga Ainun adalah keluarga yang mencintai pendidikan.Salah satu orang yang paling penting dalam mendorongnya untuk rajin belajar adalah ibunya. Ibu dari Ainun Habibie merupakan tokoh penting di balik kesukesan putrinya dalam pendidikan.
Pendidikan dan Pekerjaan
Ainun menyelesaikan
pendidikan dasarnya di Bandung. Namun saya belum menemukan data yang
pasti nama sekolahnya. Ia melanjutkan pendidikan di SLTP dan SLTA yang
juga di Bandung. Sekolahnya di LSTP bersebelahan dengan sekolah B.J.
Habibie yang kemudian menjadi suaminya. Bahkan saat di LSTA mereka
sekolah di satu sekolah. Hanya saja Habibie menjadi kakak kelasnya.
Setelah menampatkan pendidikan SLTA, ia merantau ke Jakarta dan
melanjutkan pendidikan dengan kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, Jakarta dan lulus sebagai dokter pada tahun 1961.
Berbekal ijazah
kedokteran dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia tersebut,
Ainun Habibie diterima bekerja di rumah sakit Cipto Mangunkusumo,
Jakarta. Saat bekerja di sana ia tinggal di sebuah asrama di belakang RSCM, tepatnya di Jalan Kimia, Jakarta. Ia
bekerja di rumah sakit tersebut hanya setahun saja, yakni sampai tahun
1962. Setelah menikah dengan Habibie pada tahun 1962 tersebut, ia harus
meninggalkan pekerjaan sebagai dokter anak lalu ikut dengan suaminya ke
Jerman yang sedang menyelsaikan pendidikan.
Kisah CInta dan Pernikahan
Makmur Makka, penulis
Biografi Habibie mendapatkan informasi menarik mengenai kisah cinta
Habibie. Ainun mengaku kalau ia dan Habibie sudah kenal sejak kecil,
bahkan sekolah mereka berdekatan. Pada tahun 1986, Majalah Femina memuat
cerita mengenai kisah ini. Ainun saat itu mengatakan:
“Kami kenal sejak kecil, dia teman bermain kelereng kaka saya. Rumah
kami berdekatan ketika di Bandung. Di SLTP letak sekolah kami
bersebelahan. Di SLTA malah satu sekolah, hanya Rudy (panggilan Habibie)
satu kelas lebih tinggi.Dia selalu menjadi siswa paling
kecil dan paling muda di kelas, begitu juga saya. Guru dan teman-teman
acap kali berkelakar menjodoh-jodohkan kami. Yah, gadis mana yang suka
diperolok demikian?”
Ainun dan Habibie memang
banyak kesamaan sehingga mereka sering dijodoh-jodohkan. Antara lain
mereka sama-sama anak ke empat dari delapan bersaudara dan sama-sama
dibesarkan dalam keluarga yang berpendidikan. Selain itu mereka juga
menjadi anak-anak yang beruntung karena memiliki ibu yang mendorong
mereka untuk mengutamakan pendidikan. Kesamaan lain adalah, mereka
sama-sama tinggal di Bandung dan sekolah di tempat yang sama.
Kisah cinta antara dua anak manusia ini
memang sudah terlihat sejak mereka sama-sama sekolah. Setidaknya itu
mulai terlihat saat mereka sekolah di SMA. Ainun adalah seorang gadis
yang sangat suka berenang. Karena terlalu banyak dan
sering berenang, kulitnya menjadi lebih hitam. Pada suatu hari saat jam
istirahat belajar, Habibie lewat di depannya. Saat itu Habibie
mengatakan: “Hei, kamu sekarang kok hitam dan gemuk?” Ungkapan ini
menjadikan Ainun berfikir dan merasakan sebuah getaran aneh di dalam
dadanya. “Apakah Habibie perhatian padanya?” Apalagi teman-temannya
heran dengan kejadian itu dan mengatakan kalau Habibie memang perhatian
padanya. Memang, saat itu Ainun memang menjadi pujaan di sekolahnya dan
menjadi incaran banyak siswa laki-laki, termasuk Habibie. Habibie pernah
mengomentari tentang Ainun dengan ungkapan: “Wah cakep itu anak, si
item gula Jawa”.
Namun mereka berpisah
cukup lama. Setelah lulus SMA, Habibie melanjutkan pendidikannya ke ITB
Bandung, namun tidak sempat selesai. Habibie mendapat beasiswa
pemerintah Indonesia dan kemudian berangkat ke Jerman Barat, untuk
melanjutkan pendidikannya. Ia masuk ke Universitas Technische
Hochscheule di kota Achen, Jerman. Tahun 1960 terhitung Habibie tidak
pulang ke Indonesia selama tujuh tahun. Ini membuatnya sangat home sick,
terutama ia sangat ingin mengunjungi pusara Bapaknya.
Setelah menanti agak lama, akhirnya Habibie punya kesempatan pulang ke Indonesia. Saat Habibie pulang ke Indonesia, ia
berkesempatan menziarahi makam bapaknya di Ujung Pandang. Menjelang
lebaran ia pulang ke Bandung dan bertamu ke rumah tetangganya yang lama,
keluarga Ainun. Saat itu pula Ainun secara kebetulan sedang mengambil
cuti di RSCM dan pulang ke Bandung. Di sanalah cinta lama bersemi
kembali setelah sekian lama mereka tidak bersua. Saat berjumpa tersebut
Habibie mengatakan: “Kok gula Jawa sekarang sudah menjadi gula
pasir?”. Pertemuan mereka berlanjut di Jakarta. Habibie mengikuti Ainun
yang kembali ke Jakarta untuk masuk kerja di RSCM. Di Jakarta Habibie
tinggal di Jl. Mendut, rumah kakaknya yang tertua.
Sama-sama tinggal di Jakarta membuat cinta mereka semakin bersemi. Mereka
saling berjanji untuk sering bertemu dan merindukan satu sama lain.
Malam hari mereka pacaran dan melewati waktu dengan sangat indah.
Sesekali mereka naik becak dengan jok tertutup, meskipun sebenarnya
tidak hujan. Dan ketika mereka semakin dekat, Habibie menguatkan hati
untuk mejatuhkan pilihannya pada Ainun. Ia melamar Ainun dan
mempersunting menjadi istrinya.
Ainun disuntiung oleh BJ Habibie menjadi
istrinya pada tanggal 12 Mei 1962. Mereka menghabiskan bulan madu di
tiga kota. Kaliurang, Yogyakarta, dilanjutkan ke Bali lalu diakhiri di
Ujung Pandang, daerah asal B. J. Habibie. Dari pernikahan ini mereka
dikaruniai dua orang putra; llham Akbar dan Thareq Kemal dan enam orang
cucu. Namun demikian dalam penganugerahan gelar Doktor kehormatan
kepadanya oleh Universitas Indonesia, Habibie mengatakan kalau ia punya
cucu ribuan jumlahnya: “Saya mau garis bawahi. Di usia saya yang 74
tahun ini, anak biologis saya cuma dua. Cucu biologis saya hanya enam.
Tetapi anak cucu intelektual saya ribuan jumlahnya.” Tentu saja yang
dimaksudkan Habibie adalah mahasiswanya yang tersebar di berbagai
belahan dunia.
Menjadi Ibu dua Pangeran
Setelah menikah Ainun ikut dengan Hbibie yang harus menyelesaikan pendidikan doktoralnya di Jerman. Kehidupan
awal di sana dilalui dengan perjuangan yang luar biasa. Setidaknya ia
harus bersabar dengan pendapatan yang teramat kecil dari beasiswa Habibie.
Namun dengan tekun dan sabar ia tetap menyertai Habibie. Bahkan untuk
menghemat ia menjahit sendiri keperluan pakaian bayinya yang
dikandungnya. Dan disanalah ia mengandung dua putranya, melahirkan dan
mebesarkannya.
Ainun adalah seorang ibu yang sangat bertanggung jawab dalam mebesarkan anak-anaknya. Sejak kecil ia membiasakan anak untuk
mengembangkan kepribadiannya sendiri. Ia membebaskan anak-anak untuk
berani bertanya tentang hal yang tidak diketahuinya. Dan Ainun akan
memberikan jawababn jika ia mampu atau ia akan meminta Habibie jika
tidak mampu. Hal ini tentu saja karena ia sadar kalau anak-anak sejak
kecil harus dibangun keingintahuan dan kreatifitasnya.
Selain itu Ainun juga membiasakan anaknya hidup sederhana. Uang
jajan diberikan pas untuk satu minggu. Dengan demikian si anakmemiliki
kebebasan untuk memilih jajanan yang mereka sukai. Anak-anak Ainun
tumbuh sebagai anak yang menghargai kesederhanaan itu. Pernah mereka
harus bolak-balik dari satu toko ke toko lain untuk mendapatkan harga
yang pas sebelum membeli suatu barang.
Hal yang juga tidak
kalah penting dalam mendidik anak adalah membiasakan mereka mengemukakan
pendapat dengan mengajak mereka berdiskusi di rumah. Menurut Ainun,
jika anak-anak berani mengeluarkan pendapat, artinya mereka sedang
belajar dalam hidupnya. Dan bagi orang tua, itulah saatnya melaksanakan
kewajiban memberikan bekal bagi kehidupan mereka.
Dan benar saja, hasil
didikan itu menjadikan kedua anak mereka tumbuh sebagai seorang yang
luar biasa. Seperti kita tahu bahwa Ilham Habibie menyelesaikan
pendidikan di Muenchen dalam ilmu aeronautika dan meraih gelar PdD
dengan predikat summa cumlaude, lebih tinggi dari predikat ayahnya. Sementara Thareq Kemal menyelesaikan Diploma Inggeneur di Braunsweig, Jerman.
Menjadi Ibu Negara
Pada 23 Mei 1998 Ainun
menjadi menjadi Ibu Negara setelah B. J. Habibie dilantik sebagai
presiden Negera Kesatuan Republik Indonesia yang ketiga menggantikan
Presiden Soeharto yang mengundurkan diri karena desakan masyarakat pada
awal reformasi. Tidak lama memang, hanya setahun lebih sedikit, setelah
Habibie tidak bersedia untuk mengikuti pemilihan kepemimpinan karena
laporan pertanggungjawabannya ditolak oleh DPR/MPR yang saat itu
–mengutip Almarhum Gusdur- seperti anak TK. Meskipun secara konstitusi
ia dibenarkan menjadi calon presiden, namun secara nurani dan moralitas
Habibie merasa tidak nyaman. Selama itu pula Ainun menjadi seorang
inspirator untuk sang presiden.
Penghargaan dan Dedikasi
Ainun memiliki
kepedulian yang besar terhadap beberapa yayasan, seperti, Yayasan
Beasiswa Orbit dan Bank Mata untuk penyantun mata tunanetra. Ia juga
mencatat segudang prestasi besar selama hidupnya. Atas sumbangsihnya
tersebut, Ainun mendapatkan beberapa penghargaan tertinggi bintang
mahaputra. Penghargaan tersebut diberikan oleh pemerintah sebagai
penghargaan kepada warga yang dianggap memiliki peran besar terhadap
negara. Antara lain ia mendapatkan penghargaan Bintang Mahaputra
Adipurna, juga Mahaputera Utama pada 12 Agustus 1982 serta Bintang
Mahaputra Adipradana pada 6 Agustus 1998.
Sebuah dedikasi yang tidak kalah
pentingnya dalam hubungannya dengan tunanetra adalah harapan Ainun agar
pemerintah memberikan keleluasaan dan aturan yang menganjurkan untuk
dilaksanakan donor mata. Menurut Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK),
Jimmly Assidiqie, Bu Ainun mengharapkan adanya fatwa yang bukan hanya
membolehkan donor mata tetapi menganjurkan dilakukannya donor mata.
Karena menurut beliau ketentuan untuk donor mata di Indonesia penuh
dengan syarat tertentu, beliau ingin donor mata bukan dibolehkan dengan
syarat-syarat tetapi dianjurkan dengan prosedur tertentu. Ini jelas
menunjukkan bagaimana ia berdedikasi pada persoalan yang dihadapi orang
cacat dan berharap kita semua bisa membantunya.
Selamat Jalan Ibu
Seperti telah diberikatakan oleh banyak
media, pada 24 Maret 2010, Hasri Ainun Habibie masuk ke rumah sakit
Ludwig-Maximilians-Universitat, Klinikum Gro`hadern, Munchen, Jerman.
Ainun berada di bawah pengawasan direktur Rumah Sakit Prof Dr Gerhard
Steinbeck, yang juga spesialis penyakit jantung. Ia telah menjalani
sembilan kali operasi dan empat kali dari sembilan operasi tersebut
merupakan operasi utama. Sisanya merupakan operasi eksplorasi. Pukul
17.05 waktu Jerman, hari Sabtu tanggal 22 Mei 2010, Nyonya Ainun wafat
dalam usia 72 tahun, setelah 45 tahun hidup bersama Habibie. Sebelum
wafat, Nyonya Ainun sempat beberapa kali mengalami kritis. Namun jiwanya
tidak terselamatkan lagi. Semua orang berasal dari Allah dan akan
kembali kepada Allah. Selamat jalan ibu, kebaikan dan dedikasimu menjadi
pelajaran sangat berharga bagi kami. (dikutip dari
Kompas.com)