Sabtu, 17 Agustus 2013

Walau Sudah Dikremasi Jantungnya Masih Tetap Utuh

Berkas:Thich Quang Duc.pngThích Quảng Đức (pengucapan bahasa Inggris: /ˌtɪ ˌkwɒŋ ˈdʊk/ TICH KWONG DUUK; 1897 – 11 Juni 1963, lahir Lam Van Tuc) adalah seorang biksu Buddha Mahayana Vietnam yang membakar dirinya sampai mati di sebuah persimpangan jalan di Saigon pada tanggal 11 Juni 1963. Quang Duc menentang penganiayaan kaum Buddha oleh pemerintahan Katolik Roma Vietnam Selatan [1] yang dipimpin oleh Ngô Đình Diệm selama Krisis Buddha di negara tersebut. Setelah kematiannya, tubuh Quang Duc dikremasi, namun jantungnya tetap utuh.[2][3]

Aksi bakar diri ini kemudian dianggap sebagai titik balik dalam Krisis Buddha dan berperan penting dalam menggulingkan Diệm, yang kemudian dibunuh pada tanggal 2 November 1963. Foto kejadian tersebut, yang membuat Malcolm Browne mendapatkan sebuah Penghargaan Pulitzer, mendatangkan simpati terhadap biksu-biksu Vietnam dan desakan terhadap rezim Diệm dari segala penjuru dunia. Sejumlah biksu Vietnam lainnya mengikuti jejak Quang Duc dengan membakar diri setelah tekanan terhadap mereka semakin gencar. Aksi bakar diri ini pun ditiru oleh sejumlah pemrotes perang Vietnam di Amerika Serikat beberapa tahun kemudian.

Riwayat hidup Quang Duc tercatat dari informasi beberapa organisasi Buddha. Tercatat bahwa ia lahir di desa Hoi Khanh, distrik Van Ninh, provinsi Khanh Hoa, Vietnam. Saat lahir, ia bernama Lam Van Tuc, satu dari tujuh anak yang lahir dari pasangan Lam Huu Ung dan istrinya, Nguyen Thi Nuong. Saat berusia 7 tahun, ia mempelajari Buddhisme di bawah bimbingan Hòa thượng Thích Hoằng Thâm, yang merupakan paman dan guru spiritualnya. Thích Hoằng Thâm membesarkannya dan Lam Van Tuc mengganti namanya menjadi Nguyen Van Khiet. Pada usia 15 tahun, ia menjadi samanera dan menjadi seorang biksu pada usia 20 dengan nama dharma Thich Quang Duc. Setelah diangkat, ia pergi ke sebuah pegunungan di dekat Ninh Hòa dan bersumpah untuk menjalani kehidupan Buddhisme yang tenang, sehingga bertapa selama tiga tahun. Ia nantinya akan kembali untuk membuka pagoda Thien Loc di pegunungan tempat ia menyepi.[4][5]
Setelah masa isolasi dirinya selesai, ia kemudian mengelilingi Vietnam tengah untuk menjelaskan dharma. Setelah dua tahun, beliau menyepi di pagoda Sac Tu Thien An di dekat Nha Trang. Pada tahun 1932, ia menjadi pengawas Asosiasi Buddhis di Ninh Hòa sebelum menjadi pengawasbiksu di tempat tinggalnya di provinsi Khánh Hòa. Selama periode ini, di Vietnam tengah, ia membangun 14 kuil.[6] Pada tahun 1934, ia pindah dan berkelana di Vietnam bagian selatan untuk menyebarkan ajaran Buddha. Pada masanya di Vietnam selatan, ia juga menghabiskan dua tahun di Kamboja untuk mempelajari tradisi Buddhisme Theravada.
Sekembalinya dari Kamboja, ia mengawasi pembangunan 17 kuil baru di daerah selatan. Kuil terakhir dari 31 kuil baru yang ia bangun adalah pagoda Quan The Am di distrik Phu Nhuan, Gia Dinh, di pinggiran kota Saigon.[6] Jalan tempat berdirinya kuil tersebut kini dinamai dari Quang Duc. Setelah pembangunan kuil selesai, Đức ditunjuk untuk menjadi Ketua Ritus Seremonial Kongregasi Biksu Vietnam, dan sebagai kepala pagoda Phuoc Hoa, yang merupakan tempat awal Asosiasi Pembelajaran Buddhis Vietnam (ABSV).[6] Ketika pusat ABSV berpindah tempat ke Pagoda Xa Loi, pagoda utama Saigon, Đức mengundurkan diri.
 
Di sebuah negara yang menurut survei agama pada waktu itu antara 70 hingga 90 persen penduduknya memeluk Buddhisme,[7][8][9][10] Presiden Diem merupakan seorang minoritas Katolik dan kerap melakukan tindak diskriminatif, penyiksaan, dan pembunuhan terhadap umat Buddha untuk meng-Katolik-kan Vietnam.[11] Diệm pernah memberitahu seorang perwira tinggi (dan lupa lupa bahwa perwira tersebut merupakan seorang Buddhis) agar "menempatkan perwira Katolikmu di tempat sensitif. Mereka dapat dipercaya."[12] Beberapa perwira di Angkatan Bersenjata Republik Vietnam berpindah agama menjadi Katolik Roma karena prospek militer mereka bergantung kepada hal tersebut.[12] Selain itu, senjata api hanya dibagikan ke milisi pertahanan desa yang beragama Katolik, sementara beberapa orang Buddha di angkatan bersenjata tidak akan dinaikan pangkat bila tidak menjadi Katolik.[13]

Beberapa pendeta Katolik Roma pun juga memiliki pasukan pribadi.[14] Mereka melakukan pengubahan agama paksa serta menjarah, menembaki, dan menghancurkan pagoda di beberapa area, sementara pemerintah menutup mata.[15] Beberapa desa Buddha menjadi Katolik secara massal untuk mendapatkan bantuan atau menghindari pemindahan paksa oleh rezim Diệm.[16] Status "privat" yang ditetapkan oleh Perancis untuk Buddhisme, yang mewajibkan mereka yang hendak mengadakan kegiatan Buddhisme di depan umum untuk memiliki izin resmi, tidak dicabut oleh Diệm.[17] Orang Katolik juga secara de facto dibebaskan dari kerja paksa yang wajib dilakukan oleh semua warga negara, sementara bantuan dari Amerika Serikat tidak dibagikan secara proporsional dan diberikan lebih banyak ke desa yang mayoritas beragama Katolik.[18]

Gereja Katolik Roma merupakan pemilik lahan terbesar di Vietnam Selatan dan memperoleh pengecualian khusus dalam akuisisi properti, sementara lahan milik Gereja Katolik Roma dibebaskan dari reformasi lahan.[19] Bendera Vatikan selalu dikibarkan di semua acara besar umum di Vietnam Selatan,[20] dan Diệm mendedikasikan negaranya kepada Bunda Maria pada tahun 1959.[18]

Ketidakpuasan orang Buddha meletus menyusul sebuah larangan pada awal Mei untuk tidak mengibarkan bendera Buddhis di Huế pada hari Waisak, hari kelahiran Buddha Gautama. Beberapa hari sebelumnya, umat Katolik diajak mengibarkan bendera Vatikan pada acara perayaan untuk Uskup Agung Hue Ngo Dinh Thuc, kakak Diem. Massa Buddha menolak larangan tersebut dan menentang pemerintah dengan mengibarkan bendera Buddhis pada hari Waisak serta bergerak ke stasiun siaran pemerintah. Pasukan pemerintah kemudian menembaki kelompok tersebut, sehingga menewaskan sembilan orang. Diệm menolak bertanggung jawab dan menyalahkan Viet Cong, sehingga semakin banyak muncul demonstrasi Buddhis yang menuntut kesetaraan agama.[21] Tuntutan mereka meliputi:
  1. Pencabutan pelarangan pengibaran bendera Buddhis
  2. Kebebasan beragama seperti umat Katolik
  3. Agar tidak memandang agama sebagai asosiasi
  4. Penghentian penganiayaan orang Buddha
  5. Kompensasi untuk korban penembakanHue dan penghukuman para pelaku
Meskipun demikian, Diem tetap tidak mau memenuhi tuntutan Buddhis, sehingga frekuensi protes pun meningkat.
 

Aksi Bakar Diri

Berkas:Thich Quang Duc - Self Immolation.jpgPada tanggal 10 Juni 1963, koresponden AS diinformasikan bahwa "sesuatu yang penting" akan terjadi esok hari di sebuah jalan di luar kedutaan Kamboja di Saigon.[23] Sebagian besar wartawan mengabaikan pesan tersebut karena krisis Buddha telah berlangsung selama lebih dari sebulan, dan hari berikutnya hanya beberapa jurnalis yang muncul, seperti David Halberstam dari The New York Times dan Malcolm Browne, kepala biro Associated Press Saigon.[23] Đức tiba sebagai bagian dari prosesi pada sebuah pagoda didekat situ. Sekitar 350 biksu dan biksuni berbaris dalam dua ruas, didahului oleh sebuah sedan Westminster buatan Austin yang membawa spanduk yang dicetak dalam bahasa Inggris dan Vietnam. Mereka mengecam pemerintahan Diệm dan kebijakannya terhadap kaum Buddhis, serta menuntut pemenuhan janji kesetaraan agama.[23] Biksu lain sempat menawarkan dirinya, namun tunduk kepada senioritas Đức.[2]
Peristiwa itu terjadi di persimpangan [b] Jalan Phan Đình Phùng (sekarang Jalan Nguyen Dinh Chieu) dan Jalan Le Van Duyet (sekarang Jalan Cach Mạng Thang Tam) yang terletak di barat daya Istana Presidensial (sekarang Istana Reunifikasi). Duc keluar dari mobil tersebut bersama dua biksu lainnya. Salah satu biksu menempatkan alas duduk di tengah jalan sementarabiksu kedua membuka bagasi dan mengeluarkan lima galon bensin. Orang-orang lalu membentuk lingkaran mengelilinginya, dan Duc kemudian duduk dalam posisi teratai (yang perupakan posisi meditasi Buddha tradisional) di atas alas duduk. Seorang murid menyiramkan seluruh kontainer bensin ke tubuh Đức. Đức memutar kalung doa yang terbuat dari kayu dan membacakan paritta Nianfo ("penghormatan untuk Buddha Amitābha") sebelum korek api dinyalakan dan api membakar dirinya. Api pun melahap jubahnya dan tubuhnya, dan asap berwarna hitam keluar dari tubuhnya yang terbakar.[23][24]
Kata-kata terakhir Quang Duc sebelum membakar diri dicatat di dalam sebuah surat yang ia tinggalkan:
Sebelum menutup mataku dan mendekatkan diriku kepada Buddha, dengan penuh rasa hormat aku meminta kepada Presiden Ngo Dinh Diem untuk menunjukkan sedikit rasa belas kasih kepada rakyat dan memberlakukan kesetaraan agama untuk mempertahankan kekuatan negeri ini selamanya. Aku juga memanggil mereka yang dimuliakan, mereka yang terhormat, anggota-anggota sangha, dan Buddhis awam untuk secara solider melakukan pengorbanan dalam rangka melindungi Buddhisme.[4]
David Halberstam mengatakan:
Aku hendak mengamati lagi, tetapi sekali saja sudah cukup. Api itu datang dari seorang manusia; tubuhnya secara perlahan mengering, kepalanya menghitam dan menjadi arang. Di udara tercium bau daging manusia terbakar; seorang manusia secara mengejutkan terbakar dengan cepat. Di belakangku, aku bisa mendengar isak para warga Vietnam yang sekarang berkumpul. Aku terlalu syok untuk menangis, terlalu bingung untuk mencatat atau mengajukan pertanyaan, dan terlalu bingung untuk berpikir ... Ketika ia terbakar, ia tidak pernah bergerak sedikitpun, tidak membuat suara, ketenangannya berlawanan dengan orang-orang yang meratap di sekelilingnya.[25]
Polisi mencoba menjangkaunya, namun tidak dapat menembus barisan lingkaran yang dibuat oleh para Buddhis. Salah satu polisi bahkan bersujud di hadapan Duc untuk menghormati.[2] Para penonton kebanyakan hanya tertegun diam, namun beberapa diantaranya menangis dan mengucapkan doa. Banyak biksu dan biksuni, serta beberapa orang lewat yang syok, bersujud di hadapan sang biksu yang terbakar.[2]
Dalam bahasa Inggris dan Vietnam, seorang biksu berbicara melalui sebuah mikrofon, "Seorang pendeta Buddha membakar dirinya sampai mati. Seorang pendeta Buddha menjadi seorang martir." Setelah terbakar selama sepuluh menit, seluruh tubuh Duc telah hangus semua dan tubuhnya terjatuh ke belakang dan punggungnya terbaring. Setelah api padam, sekelompok biksu menutupi tubuhnya dengan jubah kuning, mengangkatnya dan memasukannya ke dalam sebuah peti, namun salah satu anggota tubuh tidak bisa diluruskan dan salah satu lengannya keluar dari kotak kayu saat dibawa ke pagoda Xá Lợi di Saigon tengah. Di luar pagoda, seorang pelajar memasang sebuah spanduk yang bertuliskan: "Seorang pendeta Buddha telah membakar dirinya demi lima permintaan kita."[23]
 
Pada pukul 13.30, sekitar seribu biksu berkumpul untuk mengadakan pertemuan sementara sekumpulan besar pelajar pro-Buddhis berjaga-jaga di sekelilingnya. Pertemuan segera berakhir dan semua kecuali ratusan biksu meninggalkan tempat secara perlahan. Hampir seribu biksu beserta warga sipil kembali ke tempat pembakaran. Sementara itu, para polisi terus berkeliling. Pada pukul 18.00, 30 biksuni dan enam biksu ditangkap karena mengadakan doa bersama di jalan di luar Xá Lợi. Polisi mengepung pagoda, melarang orang masuk dan membuat pengamanan ketat dengan pasukan bersenjata yang dilengkapi perlengkapan anti huru-hara.[26] Sore itu, ribuan warga Saigon mengklaim telah melihat kenampakan wajah Buddha di langit saat matahari terbenam. Mereka mengklaim bahwa dalam kenampakan tersebut Buddha sedang menangis.

Dampak Dari Aksi Bakar Diri
Setelah aksi bakar diri tersebut, AS memerintahkan Diệm untuk membuka kembali perundingan. Diệm kemudian menjadwalkan pertemuan kabinet darurat pada saat pukul 11.30 pada tanggal 11 Juni untuk mendiskusikan krisis Buddha yang ia yakini akan mereda. Akibat kematian Quang Duc, Diệm membatalkan pertemuan dan bertemu secara pribadi dengan menteri-menterinya. Pemangku Jabatan (acting) Duta Besar AS di Vietnam Selatan William Trueheart memperingatkan Nguyen Dinh Thuan, Sekretaris Negara Diệm, untuk segera menyelenggarakan sebuah perundingan, dan berkata bahwa situasi tersebut "berbahaya karena hampir kritis" dan mengharapkan agar Diệm memenuhi lima hal yang diminta umat Buddhis. Sekretaris Negara Amerika Serikat Dean Rusk memperingatkan kedutaan Saigon bahwa Gedung Putih akan secara terbuka mengumumkan tidak akan lagi "mengasosiasikan diri" dengan rezim jika hal tersebut tidak dilakukan.[27] Sebuah Komunike Bersama dan konsesi untuk kaum Buddhis ditandatangani pada tanggal 16 Juni.[28]
15 Juni menjadi tanggal yang dipilih untuk melangsungkan pemakaman, dan pada hari itu 4.000 orang berkumpul di luar pagoda Xá Lợi, namun acara tersebut ditunda. Pada tanggal 19 Juni, tubuh Đức dibawa dari Xa Loi menuju permakaman 16 kilometer (9.9 mil) di sebelah selatan kota untuk dikremasi ulang dan pemakaman. Setelah penandatanganan Komunike Bersama, berdasarkan persetujuan hanya sekitar 400 biksu yang boleh hadir.
 
Pengawetan Jantung Dan Simbolis
Berkas:Thich quang duc heart.gifTubuhnya dikremasi ulang saat pemakaman, namun jantung Đức tetap utuh dan tidak terbakar.[2] Jantung tersebut kemudian dianggap suci dan diletakkan didalam sebuah cawan di Pagoda Xa Loi.[3] Relik jantung yang masih utuh[2] tersebut dianggap sebagai sebuah simbol kasih sayang. Duc kemudian dihormati oleh umat Buddhis Vietnam sebagai seorang bodhisatwa (Bồ Tát), dan karenanya sering disebut dalam bahasa Vietnam dengan sebutan Bồ Tát Thích Quảng Đức.[29][4] Pada 21 Agustus, Pasukan Khusus ARVN yang dipimpin Nhu menyerang Xa Loi dan pagoda Buddhis lainnya di Vietnam. Polisi rahasia dikerahkan untuk merebut abu Duc, namun dua biksu berhasil kabur membawanya pergi, melompati pagar bagian belakang dan mencari perlindungan di sebelah Misi Operasi AS.[30] Pasukan Nhu berhasil merampas jantung hangus Đức.[31]
Muncul pertanyaan mengenai apakah lokasi yang dipilih untuk aksi bakar diri, yaitu di depan kedutaan besar Kamboja, hanyalah merupakan kebetulan belaka atau merupakan pilihan simbolis. Trueheart dan petugas kedutaan Charles Flowerree merasa bahwa lokasi tersebut dipilih untuk menunjukan solidaritas untuk pemerintahan Pangeran Norodom Sihanouk di Kamboja. Vietnam Selatan dan Kamboja memiliki hubungan yang tidak baik: dalam sebuah pidato pada tanggal 22 Mei, Sihanouk menuduh Diệm menganiaya bangsa Vietnam dan etnis minoritas Buddhis Khmer. Times of Vietnam yang pro-Diem menerbitkan sebuah artikel pada tanggal 9 Juni mengklaim para biksu Kamboja yang telah mendorong terjadinya krisis Buddha, dan menegaskan bahwa hal tersebut merupakan bagian dari rencana Kamboja untuk memperluas kebijakan luar negerinya yang netral ke Vietnam Selatan. Flowerree mencatat bahwa Diem "siap dan ingin sekali melihat peran Kamboja dalam semua aksi Buddhis yang telah dilakukan".[32]

Dampak Politik 
Foto bakar diri yang diabadikan oleh Malcolm Browne dengan cepat menyebar dan ditampilkan di halaman depan surat kabar di seluruh dunia. Peristiwa bakar diri ini kemudian dianggap sebagai titik balik dalam krisis Buddha dan berperan penting dalam keruntuhan rezim Diệm.[37]
Sejarawan Seth Jacobs menegaskan bahwa Duc "juga telah menghanguskan ujicoba Amerika Serikat" dan "tidak ada yang bisa memulihkan reputasi Diệm" begitu gambar-gambar Browne telah tertanam ke dalam jiwa masyarakat dunia.[38] Ellen Hammer menggambarkan kejadian tersebut telah "memicu gambaran penganiayaan dan horor yang terkait dengan realitas yang sangat Asia yang tak dapat dipahami orang Barat."[39] John Mecklin, seorang pejabat dari kedutaan AS, mengatakan bahwa foto tersebut "memberikan efek kejut yang tak terkira bagi Buddhis, menjadi simbol keadaan di Vietnam."[37] William Colby, pimpinan Badan Intelijen Pusat Divisi Timur, menyatakan bahwa Diệm telah "menanggapi krisis Buddha dengan cukup buruk dan membiarkannya bertumbuh. Namun saya benar-benar tidak merasa bahwa mereka tak dapat melakukan apa-apa begitu biksu itu membakar dirinya sendiri."[37]
Presiden John F. Kennedy yang mendukung rezim Diệm mengetahui fakta tentang kematian Đức saat mendapat koran pagi ketika sedang berbicara dengan saudaranya, Jaksa Agung Robert F. Kennedy, melalui telepon. Kennedy dilaporkan menghentikan percakapan mereka mengenai segregasi di Alabama dengan berteriak "Yesus Kristus!" Ia kemudian berkata bahwa "tidak ada gambar di surat kabar dalam sejarah yang begitu membangkitkan emosi ke seluruh dunia seperti halnya yang satu ini".[38] Senator AS Frank Church (D-ID), seorang anggota Komite Senat Hubungan Luar Negeri, mengklaim bahwa "adegan mengerikan tersebut belum pernah disaksikan sejak martir Kristen berbaris bergandengan tangan ke dalam arena Romawi."[39]
Di Eropa, foto tersebut dijual di jalanan sebagai kartu pos pada tahun 1960an, dan komunis China mendistribusikan jutaan kopi foto ke Asia dan Afrika sebagai gambaran "imperialisme AS".[36] Salah satu foto Browne ditempel di sedan yang dipakai Đức dan menjadi objek wisata di Huế.[36]

Presiden AS John F. Kennedy mengatakan "tidak ada gambar pada surat kabar dalam sejarah, yang begitu membangkitkan emosi ke seluruh dunia seperti halnya yang satu ini"
Untuk Browne dan Associated Press (AP), gambar tersebut mendorong penjualan. Ray Herndon, wartawan United Press International (UPI) yang lupa mengambil kameranya pada hari itu, mendapat kecaman keras secara pribadi oleh pimpinannya. UPI yang diperkirakan mempunyai 5.000 pembaca di Sydney, yang saat itu berpenduduk sebanyak 1.5–2 juta jiwa, kemudian beralih ke sumber berita AP.[40]
Corong berita bahasa Inggris Diệm, Times of Vietnam, menargetkan serangannya pada kedua jurnalis dan umat Buddhis. Judul utama seperti "Politburo Xá Lợi membuat ancaman baru" dan "rencana pembunuhan biksu" dicetak.[41] Satu artikel mempertanyakan hubungan antara biksu dan pers dengan mengajukan pertanyaan mengapa "banyak para gadis muda yang keluar masuk Xá Lợi pada awal [hari]" dan kemudian menuduh bahwa mereka dibawa untuk memenuhi kebutuhan seksual wartawan AS.[41]
Foto Browne yang memenangkan penghargaan telah direproduksi di media populer selama beberapa dasawarsa, dan insiden ini digunakan sebagai acuan dalam berbagai film dan acara televisi. Artis Peter Hopkins (1911–1999) melukis sebuah gambar antiperang pada tahun 1964 yang menggabungkan adegan bakar diri Đức dengan sebuah adegan yang menggambarkan dirinya pada saat pembakaran pertama, dengan Menteri Pertahanan AS Robert McNamara dan Presiden Diệm sedang dipanggul oleh kuli di latar belakang. Lukisan tersebut, "Ambassador of Goodwill" (C) 1994 M. J. Stutterheim (dengan seluruh perubahan), dapat dilihat di sini.
Salah satu foto bakar diri Quang Duc juga digunakan untuk sampul album debut grup musik rap metal Amerika Serikat Rage Against the Machine yang dikeluarkan pada tahun 1992, dan juga sampul singel mereka Killing in the Name.
(sumber lengkap: wikipedia.org)

 
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar