Sabtu, 24 Agustus 2013

Kecantikan dibalik Batu Garnet si Merah Delima

Batu Garnet sering dikenal dengan sebutan Batu Biduri Delima. Batu ini sering dipakai sebagai batu lambang bagi Anda yang lahir pada bulan Januari. Batu jenis ini memiliki ragam warna yang indah, mulai dari merah tua, orange, hijau lime, ungu, emas, cokelat, hingga pink yang cantik.

Batu biduri delima (garnet) mengandung campuran keizelzuur, sedangkan komposisi batu biduri delima sama sulitnya dengan batu tourmaline. Batu garnet mempunyai nilai keras 6-7.5 berdasarkan daftar keras Mohs.

Pada umumnya batu garnet sangat mengkilau warnanya dan tembus cahaya. Hampir semua batu garnet mempunyai warna yang dalam dan bermacam-macam warnanya kecuali biru. Di Indonesia batu garnet ini diberi nama bermacam-macam seperti manilam anggur, biduri delima, biduri anggur, dan mirah anggur. Biasanya warna batu garnet yang paling disukai adalah warna merah gelap dan kadang-kadang hitam, batu macam itu dinamakan pyrope.

Batu ini sering kali dipakai sebagai mata perhiasan, seperti cincin, liontin, anting, dan lain-lain. Garnet dapat ditemukan hampir di seluruh dunia, mulai dari Afrika, Australia, Eropa Timur, Amerika Utara, Amerika Selatan, Timur Tengah, dan Asia Tenggara.
 
Batu garnet dipercayai memiliki pengaruh-pengaruh antara lain menenteramkan pikiran, meningkatkan kecerdasan, memperingatkan adanya ancaman bahaya (batu itu akan berubah warnanya), membangkitkan rasa adil dan jujur, menarik rasa simpati dari orang lain, tahan dalam menghadapi kesengsaraan dan mengusir hal-hal negative atau ilmu hitam.

Dalam sisi astrology, zodiac dan hadiah pernikahan, Batu garnet dijadikan batu khusus atau batu yang cocok untuk batu kelahiran bulan January (sama halnya dengan bunga anyelir atau bunga carnation) dan pemberian dihari peringatan perkawinan yang ke 2. Dalam dunia astrology atau perbintangan, batu garnet dihubungkan dengan zodiac Aquarius. 

Mungkin karena warna batu garnet itu merah, jadi batu ini sering dijadikan batu yang dipercayai mempunyai sifat-sifat ksatria dan keperkasaan. Seringkali dahulu para petarung menghiasi senjata-senjata mereka dengan batu garnet dan berharap batu tersebut bisa membawa mereka keberuntungan dan memenangkan medan perang. Batu ini pernah dijadikan sebagai peluru dengan maksud agar meningkatkan rasa sakit yang amat di dalam luka.

Untuk merawat jenis batu ini agar tetap cemerlang, maka Anda dapat menggunakan air hangat yang telah diberi sabun. Sikatlah permukaan batu perlahan-lahan dengan sikat lembut. Selain dengan air sabun, batu ini juga dapat dibersihkan melalui ultrasonic cleaning. Hindari steam cleaning!

Batu Garnet sangat rapuh, mudah retak dan pecah karena bersifat fragile. Oleh karena itu, Anda perlu merawatnya dengan hati-hati.

(Ric Wynt)

Selasa, 20 Agustus 2013

November 25, 2012
by Karina Giglio

9 Simple Ways To Look Younger
Life is complicated enough without worrying about the 1,001 rules you have to follow to postpone the whole aging-gracefully thing. That’s why we asked three anti-aging pros for their simplest, most effective tips for turning back the clock (minus the needles, of course!). Here’s how you can take it easy and still take a few years off your face.
#1 Get your beauty sleep. “The biggest compliment someone can give is to tell you that you look well rested,” says Doris Day, MD, Assistant Clinical Professor of Dermatology at the New York University Langone Medical Center. Even better, sleep is one of the few beauty “products” that don’t cost you a penny! Aim for at eight hours a night.
#2 Stay out of hot water. “Women often ask me why their skin becomes ruddier as they age, and often the answer is that they’ve been washing with water that’s too hot,” explains Macrene Alexiades, MD, Assistant Clinical Professor at Yale University School of Medicine “When you’re 20, you can take a hot shower, be red and swollen, and recover in an hour. In your 30s, it’ll take a few hours, and by the time you’re in your 40s, your skin just doesn’t have the ability to shrink back to its original state.” To keep redness at bay and maintain youthful elasticity, shower and bathe with the coolest water you can tolerate.
#3 Covet thy concealer. “You don’t see many young people with dark circles under their eyes,” says Maybelline makeup pro Gabriel Almodovar. Fake that youthful brightness with a liquid concealer like Lancôme Maquicomplet Liquid Concealer. For natural-looking coverage, press it into the skin and blend with your ring finger, making sure there’s no space between your lower lash line and the concealer.
#4 Drink plenty of water. “It makes your skin fuller since the hyaluronic acid that naturally exists in the skin will pull in and hold the water,” explains Day. “But make sure to watch your salt intake too, or you’ll look puffy in all the wrong places.” Eight glasses of H2O each day is the minimum, and you should up your intake depending on your activity level.
#5 Apply moisturizer asap. “You only have a couple of minutes to lock in hydration after you bathe, and the clock starts ticking the minute you pat skin dry,” says Alexiades. Lock in moisture by applying a product with dimethicone, a silicone-based humectant, and you’ll see plumping and an improvement in the appearance of fine lines as skin drinks up the moisture (like the difference between a raisin and a grape). Try Ole Henriksen Nurture Me.
#6 Slather on the sunscreen. We know, we know—you’ve heard it a million times, but wearing sunscreen (we like: Kiehl’s Super Fluid UV Defense SPF 50+) is the single easiest way to look younger for life! “Ninety percent of wrinkles are from sun exposure,” says Day. “It’s so much easier to prevent the damage than it is to fix it aftewards.”
#7 Define your brows. Eyebrows give structure to the entire face, not just the eyes. The right shape can visually “lift” the eye area, while an ample thickness looks years younger than skimpy, overplucked arches. To define them, Almodovar recommends starting with an eye pencil in a shade that’s slightly darker than your hair color. Draw quick, small strokes that emulate your brow hairs, and finish with a comb to soften the pencil strokes. Try Maybelline Define-A-Brow, a pencil/comb combo.
#8 Exfoliate! Cellular renewal slows down as we age, which is why skin often trades in the luminous glow of youth for a dull, lackluster tone. Exfoliating with a mild scrub like La Roche-Posay Biomedic Micro Exfoliating Scrub once or twice a week helps remove the outer layer of cells that need a little nudge to come off and reveal the smooth, glowing skin underneath. “Be careful not to be too aggressive,” warns Day. “You don’t want to strip the skin or make it blotchy or irritated.”
#9 Plump up your pout. As we age, our lips get thinner. Add fullness in seconds by choosing a lipliner that’s an exact match to your natural lip color. “Then you can slightly overdraw your lip line, creating a bigger, more defined mouth,” says Almodovar. Follow with lipstick and a dab of gloss in the center of the mouth.  Try Hourglass Trace Lip Liner

Minggu, 18 Agustus 2013

Sejarah Condet dan Perkembangannya

Berdasar cerita yang beredar dimasyarakat, kata Condet berasal dari nama seseorang yang memiliki kesaktian dan memiliki bekas luka diwajahnya (Codet), orang sakti tersebut seringkali muncul di daerah Batu Ampar, Balekambang dan Pejaten. Ada lagi sebagian Orang mengatakan bahwa orang yang memiliki Kesaktian tersebut adalah Pangeran Geger atau Ki Tua (Wallahu a’lam), yang pasti Condet adalah sebuah perkampungan Betawi yang didalamnya tengah berlangsung Pembangunan seperti daerah-daerah lainnya di Jakarta.

Ada beberapa peninggalan purbakala yang usianya diperkirakan barasal dari periode 1500 – 1000 SM, yang berhasil ditemukan berupa Kapak, Gurdi, dan Pahat dari batu. Ini menandakan bahwa sejak periode itu, wilayah Condet sudah ada perkampungan. Cukup beralasan, karena banyak jejak sejarah suatu peradaban manusia dimulai dari daerah yang dekat sumber air (Sungai Ciliwung).

Sebagai salah satu perkampungan tua di tanah Jakarta. Wilayah Condet memiliki keunikan tersendiri, berbeda dengan kota-kota Tua lainnya di Jakarta. Di Condet sampai akhir tahun 1980an kita sulit menemukan bangunan-bangunan Tempo Doeloe. Pernah ada di ujung selatan jalan raya Condet terdapat bangunan tua peninggalan Belanda masyarakat menyebutnya Gedung Tinggi atau Gedung Kidekle, tepatnya di Jl. Simatupang (Sekarang) posisinya persis menghadap ke utara jalan raya Condet, Cuma bangunan tersebut sudah tidak ada lagi musnah terbakar dan tidak ada lagi upaya untuk merenovasinya, padahal bangunan tersebut sangat tinggi nilai sejarah bagi terbentuknya perkampungan Condet dan kampungnya orang Jakarta ini. Keunikan wilayah Condet yang masih dapat ditemukan adalah Perkebunan Salak, yang tidak ada di daerah lainnya di tanah Jakarta. Meskipun pohon-pohon tersebut hanya tinggal beberapa gelintir saja, cukuplah untuk dijadikan bukti kejayaan sejarah salak Condet dimasa lalu,

Sejak kapan di Condet ada perkebunan Salak? Merupakan fenomena sejarah, kultural yang belum terungkap hingga saat ini, apakah tanaman ini tumbuh secara alami, atau sudah ada yang mengupayakan sejak dulu seiring ditemukannya benda-benda purbakala itu. Karena kondisi alamnya cocok buat pertumbuhan Pohon Salak, maka tanaman ini dapat dengan mudah berkembang biak hingga pada akhirnya mampu menutupi tiap jengkal tanah Condet dengan rerimbunannya. Karena ketidakjelasan ini, maka di daerah Condet berkembang cerita-cerita rakyat yang menghubung-hubungkan riwayat tanaman ini dengan tokohnya hingga menjadi Asset Budaya lokal yang turun-menurun dan patut pula menjadi bahan kajian selanjutnya.

Namun seiring semakin pudarnya identitas Condet sebagai Pusat perkebunan Salak, semakin pudar pula cerita-cerita tersebut di masyarakat. Saat ini sedikit sekali masyarakat yang mengetahui nama para tokoh sejarah yang pernah berjasa ditanah Condet, seperti Pangeran Geger, Ki Tua Pangeran Purbaya, Pangeran Astawana, Tong Gendut, Dll

Pada tahun 1964, oleh pemerintah di daerah Condet pernah akan dibangun komplek Militer Cakrabirawa dan rencana pembangunan Universitas Bung Karno, tetapi rencana ini ditentang oleh masyarakat Condet dengan alasan untuk melindungi lingkungan alam, budaya, adat istiadat yang begitu melekat dikalangan masyarakat Condet kala itu.

Secara kebetulan pada tahun 1965 di Republik ini terjadi pemberontakan G30S/PKI sehingga kedua rencana Pemerintah pada waktu itu tidak dapat direalisasikan. Dari beberapa sumber, Kultur daerah Condet sangat berbeda dengan daerah-daerah lain di Jakarta sehingga masyarakat sangat selektif menerima segala macam interpensi budaya dan adat istiadat meskipun dari Pemerintah kala itu, ada kepercayaan pada sebagian masyarakat, bila ada yang berani melanggar kultur budaya masyarakat Condet, maka orang itu akan terkena musibah.

Untuk melindungi kultur budaya masyarakat tersebut, pada akhirnya Pemerintah menetapkan kawasan Condet yang terdiri dari kelurahan Belekambang, Batu Ampar dan Kampung Tengah menjadi kawasan yang dilindungi (Cagar Budaya Buah-buahan) berdasarkan surat keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta (Letjen. TNI Marinir Ali Sadikin) tanggal 18 Desember 1975 Nomor D.I. 7903/a/30/1975 yang begitu fenomenal (Anonimuous, 1975).

Untuk menjaga kelangsungan dan kehidupan perkampungan Condet serta sebagai pelaksanaan keputusan gubernur tentang cagar budaya buah-buahan, maka pada tanggal 20 Oktober 1976 Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta kembali menginstruksikan kepada Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) untuk menyusun rencana pola kebijaksanaan pemerintah DKI dan tata kerja proyek Cagar Budaya Condet dengan instruksi No.D.IV-99/d/11/76 (Anonimous, 1976). Pada tahun yang sama Pemerintah kembali mengeluarkan instruksi nomor D.IV– 116/d/11/76 tentang pembatasan terhadap pengembangkan kawasan Condet (Anonimous, 1976). Untuk mengantisipasinya, maka pada tanggal 1 januari 1986 Gubernur kepala daerah khusus ibu kota Jakarta kembali mengeluarkan instruksi nomor 19 tahun 1986, sehubungan dengan itu, maka :
1. Dilarang memberikan izin/legalisasi setiap mutasi (jual/beli) pemilikan tanah di kawasan Condet.
2. Dilarang mengadakan perubahan tataguna tanah sesuai dengan peruntukan yang akan ditetapkan kemudian, termasuk menebang/ memusnahkan tanaman salak, duku dan melinjo.
3. Dilarang memberikan izin dan atau membangun bangunan baru mulai dari pembangunan pondasi dan seterusnya di kawasan Condet.


Pernyataan ini berlaku mulai tanggal 1 Januari 1986 sampai selesainya penyusunan konsepsi pembangunan di wilayah Condet atau dikenal dengan istilah “status Kuo” yang sangat kontroversial terhadap Pembangunan di kawasan Condet. Kemudian pada tanggal 3 Agustus 1986 kembali pemerintah mengeluarkan instruksi pencabutan status quo pembangunan Condet dengan instruksi nomor 227 tahun 1986 yang pada intinya memberikan kelonggaran terhadap Pembangunan di kawasan Condet, pada masa itu Gubernur DKI adalah R. Suprapto (Anonomuos,1986).




Sejak saat itu, karena keterbatasan penulis, penelusuran terhadap dokumen berkenaan dengan kebijakan Pemerintah tentang arah tujuan pemberlakuan Cagar Budaya Condet terhambat. Kemudian berita terakhir yang sempat beredar dimasyarakat Condet kira-kira pertengahan 2004, bahwa Cagar Budaya Condet dicabut dan dipindahkan ke Setu Babakan Jagakarsa Jakarta Selatan, saat itu sosialisasinya dilakukan di sana dan dihadiri oleh beberapa tokoh masyarakat Condet.

Menurut hemat kami, dicabut atau tidaknya status Cagar Budaya Buah-buahan di Condet saat ini sama dengan peribahasa "habis manis sepah dibuang", setelah selama bertahun-tahun masyarakat Condet menghadapi ketidakjelasan arah kebijakan pembangunan dikawasan ini disaat segala asset Kultur Budaya, lingkungan alam Condet diambang kehancuran malah dicampakkan. Hal ini berdampak buruk terhadap kredibilitas pemerintah dengan segala otoritas dan profesionalismenya.

Kemudian, bagi kami Tradisi masyarakat Condet yang begitu identik dengan perjalanan panjang sejarah terbentuknya Eko-Sistem yang meliputi seluruh komunitas yang ada adalah defacto, milik Kampung Condet dengan segala khasanah yang ada dan apa adanya, tidak dapat dipindahkan. Apa lagi dengan isu-isu murahan yang menyesatkan.

Alhamdulillah, pada tahun ini (2008) ada upaya konkrit oleh pemerintah, entah bagaimana proses didalamnya saat ini telah tersedia lahan kurang lebih 3 Ha dengan keanekaragaman hayatinya akan dijadikan situs untuk tanaman kebanggaan tanah Jakarta. Kami sangat berharap, dengan langkah ini akan menjadi titik terang kedepan dalam rangka perbaikan sejarah, kultur, budaya, lingkungan alam yang selama ini koyak dan cerai berai oleh lemahnya daya dukung kebijakan, kepentingan sesaat, dan ketidakpedulian yang telah begitu banyak menelan korban.

Condet, yang saat ini berada dalam proses pembangunan fisik wilayah, pertambahan penduduk, mengalirnya wisatawan dalam dan luar negeri, proses akulturasi global. Kebijakan-kebijakan Pemerintah yang diharapkan dapat melindungi asset Hayati dan peningkatan taraf kehidupan masyarakat, namun pada kenyataanya justru menghantam dan merusak lingkungan alam, mencerai-beraikan pergaulan kehidupan masyarakat, menghanyutkan dan menenggelamkan nilai-nilai budaya dan tradisi yang bertahun-tahun dipertahankan, hingga pada akhirnya melenyapkan identitas masyarakat tradisional Condet yang kental dengan predikat sebagai Cagar Budaya Buah-buahan.
(Ric Wynt)


Sabtu, 17 Agustus 2013

Walau Sudah Dikremasi Jantungnya Masih Tetap Utuh

Berkas:Thich Quang Duc.pngThích Quảng Đức (pengucapan bahasa Inggris: /ˌtɪ ˌkwɒŋ ˈdʊk/ TICH KWONG DUUK; 1897 – 11 Juni 1963, lahir Lam Van Tuc) adalah seorang biksu Buddha Mahayana Vietnam yang membakar dirinya sampai mati di sebuah persimpangan jalan di Saigon pada tanggal 11 Juni 1963. Quang Duc menentang penganiayaan kaum Buddha oleh pemerintahan Katolik Roma Vietnam Selatan [1] yang dipimpin oleh Ngô Đình Diệm selama Krisis Buddha di negara tersebut. Setelah kematiannya, tubuh Quang Duc dikremasi, namun jantungnya tetap utuh.[2][3]

Aksi bakar diri ini kemudian dianggap sebagai titik balik dalam Krisis Buddha dan berperan penting dalam menggulingkan Diệm, yang kemudian dibunuh pada tanggal 2 November 1963. Foto kejadian tersebut, yang membuat Malcolm Browne mendapatkan sebuah Penghargaan Pulitzer, mendatangkan simpati terhadap biksu-biksu Vietnam dan desakan terhadap rezim Diệm dari segala penjuru dunia. Sejumlah biksu Vietnam lainnya mengikuti jejak Quang Duc dengan membakar diri setelah tekanan terhadap mereka semakin gencar. Aksi bakar diri ini pun ditiru oleh sejumlah pemrotes perang Vietnam di Amerika Serikat beberapa tahun kemudian.

Riwayat hidup Quang Duc tercatat dari informasi beberapa organisasi Buddha. Tercatat bahwa ia lahir di desa Hoi Khanh, distrik Van Ninh, provinsi Khanh Hoa, Vietnam. Saat lahir, ia bernama Lam Van Tuc, satu dari tujuh anak yang lahir dari pasangan Lam Huu Ung dan istrinya, Nguyen Thi Nuong. Saat berusia 7 tahun, ia mempelajari Buddhisme di bawah bimbingan Hòa thượng Thích Hoằng Thâm, yang merupakan paman dan guru spiritualnya. Thích Hoằng Thâm membesarkannya dan Lam Van Tuc mengganti namanya menjadi Nguyen Van Khiet. Pada usia 15 tahun, ia menjadi samanera dan menjadi seorang biksu pada usia 20 dengan nama dharma Thich Quang Duc. Setelah diangkat, ia pergi ke sebuah pegunungan di dekat Ninh Hòa dan bersumpah untuk menjalani kehidupan Buddhisme yang tenang, sehingga bertapa selama tiga tahun. Ia nantinya akan kembali untuk membuka pagoda Thien Loc di pegunungan tempat ia menyepi.[4][5]
Setelah masa isolasi dirinya selesai, ia kemudian mengelilingi Vietnam tengah untuk menjelaskan dharma. Setelah dua tahun, beliau menyepi di pagoda Sac Tu Thien An di dekat Nha Trang. Pada tahun 1932, ia menjadi pengawas Asosiasi Buddhis di Ninh Hòa sebelum menjadi pengawasbiksu di tempat tinggalnya di provinsi Khánh Hòa. Selama periode ini, di Vietnam tengah, ia membangun 14 kuil.[6] Pada tahun 1934, ia pindah dan berkelana di Vietnam bagian selatan untuk menyebarkan ajaran Buddha. Pada masanya di Vietnam selatan, ia juga menghabiskan dua tahun di Kamboja untuk mempelajari tradisi Buddhisme Theravada.
Sekembalinya dari Kamboja, ia mengawasi pembangunan 17 kuil baru di daerah selatan. Kuil terakhir dari 31 kuil baru yang ia bangun adalah pagoda Quan The Am di distrik Phu Nhuan, Gia Dinh, di pinggiran kota Saigon.[6] Jalan tempat berdirinya kuil tersebut kini dinamai dari Quang Duc. Setelah pembangunan kuil selesai, Đức ditunjuk untuk menjadi Ketua Ritus Seremonial Kongregasi Biksu Vietnam, dan sebagai kepala pagoda Phuoc Hoa, yang merupakan tempat awal Asosiasi Pembelajaran Buddhis Vietnam (ABSV).[6] Ketika pusat ABSV berpindah tempat ke Pagoda Xa Loi, pagoda utama Saigon, Đức mengundurkan diri.
 
Di sebuah negara yang menurut survei agama pada waktu itu antara 70 hingga 90 persen penduduknya memeluk Buddhisme,[7][8][9][10] Presiden Diem merupakan seorang minoritas Katolik dan kerap melakukan tindak diskriminatif, penyiksaan, dan pembunuhan terhadap umat Buddha untuk meng-Katolik-kan Vietnam.[11] Diệm pernah memberitahu seorang perwira tinggi (dan lupa lupa bahwa perwira tersebut merupakan seorang Buddhis) agar "menempatkan perwira Katolikmu di tempat sensitif. Mereka dapat dipercaya."[12] Beberapa perwira di Angkatan Bersenjata Republik Vietnam berpindah agama menjadi Katolik Roma karena prospek militer mereka bergantung kepada hal tersebut.[12] Selain itu, senjata api hanya dibagikan ke milisi pertahanan desa yang beragama Katolik, sementara beberapa orang Buddha di angkatan bersenjata tidak akan dinaikan pangkat bila tidak menjadi Katolik.[13]

Beberapa pendeta Katolik Roma pun juga memiliki pasukan pribadi.[14] Mereka melakukan pengubahan agama paksa serta menjarah, menembaki, dan menghancurkan pagoda di beberapa area, sementara pemerintah menutup mata.[15] Beberapa desa Buddha menjadi Katolik secara massal untuk mendapatkan bantuan atau menghindari pemindahan paksa oleh rezim Diệm.[16] Status "privat" yang ditetapkan oleh Perancis untuk Buddhisme, yang mewajibkan mereka yang hendak mengadakan kegiatan Buddhisme di depan umum untuk memiliki izin resmi, tidak dicabut oleh Diệm.[17] Orang Katolik juga secara de facto dibebaskan dari kerja paksa yang wajib dilakukan oleh semua warga negara, sementara bantuan dari Amerika Serikat tidak dibagikan secara proporsional dan diberikan lebih banyak ke desa yang mayoritas beragama Katolik.[18]

Gereja Katolik Roma merupakan pemilik lahan terbesar di Vietnam Selatan dan memperoleh pengecualian khusus dalam akuisisi properti, sementara lahan milik Gereja Katolik Roma dibebaskan dari reformasi lahan.[19] Bendera Vatikan selalu dikibarkan di semua acara besar umum di Vietnam Selatan,[20] dan Diệm mendedikasikan negaranya kepada Bunda Maria pada tahun 1959.[18]

Ketidakpuasan orang Buddha meletus menyusul sebuah larangan pada awal Mei untuk tidak mengibarkan bendera Buddhis di Huế pada hari Waisak, hari kelahiran Buddha Gautama. Beberapa hari sebelumnya, umat Katolik diajak mengibarkan bendera Vatikan pada acara perayaan untuk Uskup Agung Hue Ngo Dinh Thuc, kakak Diem. Massa Buddha menolak larangan tersebut dan menentang pemerintah dengan mengibarkan bendera Buddhis pada hari Waisak serta bergerak ke stasiun siaran pemerintah. Pasukan pemerintah kemudian menembaki kelompok tersebut, sehingga menewaskan sembilan orang. Diệm menolak bertanggung jawab dan menyalahkan Viet Cong, sehingga semakin banyak muncul demonstrasi Buddhis yang menuntut kesetaraan agama.[21] Tuntutan mereka meliputi:
  1. Pencabutan pelarangan pengibaran bendera Buddhis
  2. Kebebasan beragama seperti umat Katolik
  3. Agar tidak memandang agama sebagai asosiasi
  4. Penghentian penganiayaan orang Buddha
  5. Kompensasi untuk korban penembakanHue dan penghukuman para pelaku
Meskipun demikian, Diem tetap tidak mau memenuhi tuntutan Buddhis, sehingga frekuensi protes pun meningkat.
 

Aksi Bakar Diri

Berkas:Thich Quang Duc - Self Immolation.jpgPada tanggal 10 Juni 1963, koresponden AS diinformasikan bahwa "sesuatu yang penting" akan terjadi esok hari di sebuah jalan di luar kedutaan Kamboja di Saigon.[23] Sebagian besar wartawan mengabaikan pesan tersebut karena krisis Buddha telah berlangsung selama lebih dari sebulan, dan hari berikutnya hanya beberapa jurnalis yang muncul, seperti David Halberstam dari The New York Times dan Malcolm Browne, kepala biro Associated Press Saigon.[23] Đức tiba sebagai bagian dari prosesi pada sebuah pagoda didekat situ. Sekitar 350 biksu dan biksuni berbaris dalam dua ruas, didahului oleh sebuah sedan Westminster buatan Austin yang membawa spanduk yang dicetak dalam bahasa Inggris dan Vietnam. Mereka mengecam pemerintahan Diệm dan kebijakannya terhadap kaum Buddhis, serta menuntut pemenuhan janji kesetaraan agama.[23] Biksu lain sempat menawarkan dirinya, namun tunduk kepada senioritas Đức.[2]
Peristiwa itu terjadi di persimpangan [b] Jalan Phan Đình Phùng (sekarang Jalan Nguyen Dinh Chieu) dan Jalan Le Van Duyet (sekarang Jalan Cach Mạng Thang Tam) yang terletak di barat daya Istana Presidensial (sekarang Istana Reunifikasi). Duc keluar dari mobil tersebut bersama dua biksu lainnya. Salah satu biksu menempatkan alas duduk di tengah jalan sementarabiksu kedua membuka bagasi dan mengeluarkan lima galon bensin. Orang-orang lalu membentuk lingkaran mengelilinginya, dan Duc kemudian duduk dalam posisi teratai (yang perupakan posisi meditasi Buddha tradisional) di atas alas duduk. Seorang murid menyiramkan seluruh kontainer bensin ke tubuh Đức. Đức memutar kalung doa yang terbuat dari kayu dan membacakan paritta Nianfo ("penghormatan untuk Buddha Amitābha") sebelum korek api dinyalakan dan api membakar dirinya. Api pun melahap jubahnya dan tubuhnya, dan asap berwarna hitam keluar dari tubuhnya yang terbakar.[23][24]
Kata-kata terakhir Quang Duc sebelum membakar diri dicatat di dalam sebuah surat yang ia tinggalkan:
Sebelum menutup mataku dan mendekatkan diriku kepada Buddha, dengan penuh rasa hormat aku meminta kepada Presiden Ngo Dinh Diem untuk menunjukkan sedikit rasa belas kasih kepada rakyat dan memberlakukan kesetaraan agama untuk mempertahankan kekuatan negeri ini selamanya. Aku juga memanggil mereka yang dimuliakan, mereka yang terhormat, anggota-anggota sangha, dan Buddhis awam untuk secara solider melakukan pengorbanan dalam rangka melindungi Buddhisme.[4]
David Halberstam mengatakan:
Aku hendak mengamati lagi, tetapi sekali saja sudah cukup. Api itu datang dari seorang manusia; tubuhnya secara perlahan mengering, kepalanya menghitam dan menjadi arang. Di udara tercium bau daging manusia terbakar; seorang manusia secara mengejutkan terbakar dengan cepat. Di belakangku, aku bisa mendengar isak para warga Vietnam yang sekarang berkumpul. Aku terlalu syok untuk menangis, terlalu bingung untuk mencatat atau mengajukan pertanyaan, dan terlalu bingung untuk berpikir ... Ketika ia terbakar, ia tidak pernah bergerak sedikitpun, tidak membuat suara, ketenangannya berlawanan dengan orang-orang yang meratap di sekelilingnya.[25]
Polisi mencoba menjangkaunya, namun tidak dapat menembus barisan lingkaran yang dibuat oleh para Buddhis. Salah satu polisi bahkan bersujud di hadapan Duc untuk menghormati.[2] Para penonton kebanyakan hanya tertegun diam, namun beberapa diantaranya menangis dan mengucapkan doa. Banyak biksu dan biksuni, serta beberapa orang lewat yang syok, bersujud di hadapan sang biksu yang terbakar.[2]
Dalam bahasa Inggris dan Vietnam, seorang biksu berbicara melalui sebuah mikrofon, "Seorang pendeta Buddha membakar dirinya sampai mati. Seorang pendeta Buddha menjadi seorang martir." Setelah terbakar selama sepuluh menit, seluruh tubuh Duc telah hangus semua dan tubuhnya terjatuh ke belakang dan punggungnya terbaring. Setelah api padam, sekelompok biksu menutupi tubuhnya dengan jubah kuning, mengangkatnya dan memasukannya ke dalam sebuah peti, namun salah satu anggota tubuh tidak bisa diluruskan dan salah satu lengannya keluar dari kotak kayu saat dibawa ke pagoda Xá Lợi di Saigon tengah. Di luar pagoda, seorang pelajar memasang sebuah spanduk yang bertuliskan: "Seorang pendeta Buddha telah membakar dirinya demi lima permintaan kita."[23]
 
Pada pukul 13.30, sekitar seribu biksu berkumpul untuk mengadakan pertemuan sementara sekumpulan besar pelajar pro-Buddhis berjaga-jaga di sekelilingnya. Pertemuan segera berakhir dan semua kecuali ratusan biksu meninggalkan tempat secara perlahan. Hampir seribu biksu beserta warga sipil kembali ke tempat pembakaran. Sementara itu, para polisi terus berkeliling. Pada pukul 18.00, 30 biksuni dan enam biksu ditangkap karena mengadakan doa bersama di jalan di luar Xá Lợi. Polisi mengepung pagoda, melarang orang masuk dan membuat pengamanan ketat dengan pasukan bersenjata yang dilengkapi perlengkapan anti huru-hara.[26] Sore itu, ribuan warga Saigon mengklaim telah melihat kenampakan wajah Buddha di langit saat matahari terbenam. Mereka mengklaim bahwa dalam kenampakan tersebut Buddha sedang menangis.

Dampak Dari Aksi Bakar Diri
Setelah aksi bakar diri tersebut, AS memerintahkan Diệm untuk membuka kembali perundingan. Diệm kemudian menjadwalkan pertemuan kabinet darurat pada saat pukul 11.30 pada tanggal 11 Juni untuk mendiskusikan krisis Buddha yang ia yakini akan mereda. Akibat kematian Quang Duc, Diệm membatalkan pertemuan dan bertemu secara pribadi dengan menteri-menterinya. Pemangku Jabatan (acting) Duta Besar AS di Vietnam Selatan William Trueheart memperingatkan Nguyen Dinh Thuan, Sekretaris Negara Diệm, untuk segera menyelenggarakan sebuah perundingan, dan berkata bahwa situasi tersebut "berbahaya karena hampir kritis" dan mengharapkan agar Diệm memenuhi lima hal yang diminta umat Buddhis. Sekretaris Negara Amerika Serikat Dean Rusk memperingatkan kedutaan Saigon bahwa Gedung Putih akan secara terbuka mengumumkan tidak akan lagi "mengasosiasikan diri" dengan rezim jika hal tersebut tidak dilakukan.[27] Sebuah Komunike Bersama dan konsesi untuk kaum Buddhis ditandatangani pada tanggal 16 Juni.[28]
15 Juni menjadi tanggal yang dipilih untuk melangsungkan pemakaman, dan pada hari itu 4.000 orang berkumpul di luar pagoda Xá Lợi, namun acara tersebut ditunda. Pada tanggal 19 Juni, tubuh Đức dibawa dari Xa Loi menuju permakaman 16 kilometer (9.9 mil) di sebelah selatan kota untuk dikremasi ulang dan pemakaman. Setelah penandatanganan Komunike Bersama, berdasarkan persetujuan hanya sekitar 400 biksu yang boleh hadir.
 
Pengawetan Jantung Dan Simbolis
Berkas:Thich quang duc heart.gifTubuhnya dikremasi ulang saat pemakaman, namun jantung Đức tetap utuh dan tidak terbakar.[2] Jantung tersebut kemudian dianggap suci dan diletakkan didalam sebuah cawan di Pagoda Xa Loi.[3] Relik jantung yang masih utuh[2] tersebut dianggap sebagai sebuah simbol kasih sayang. Duc kemudian dihormati oleh umat Buddhis Vietnam sebagai seorang bodhisatwa (Bồ Tát), dan karenanya sering disebut dalam bahasa Vietnam dengan sebutan Bồ Tát Thích Quảng Đức.[29][4] Pada 21 Agustus, Pasukan Khusus ARVN yang dipimpin Nhu menyerang Xa Loi dan pagoda Buddhis lainnya di Vietnam. Polisi rahasia dikerahkan untuk merebut abu Duc, namun dua biksu berhasil kabur membawanya pergi, melompati pagar bagian belakang dan mencari perlindungan di sebelah Misi Operasi AS.[30] Pasukan Nhu berhasil merampas jantung hangus Đức.[31]
Muncul pertanyaan mengenai apakah lokasi yang dipilih untuk aksi bakar diri, yaitu di depan kedutaan besar Kamboja, hanyalah merupakan kebetulan belaka atau merupakan pilihan simbolis. Trueheart dan petugas kedutaan Charles Flowerree merasa bahwa lokasi tersebut dipilih untuk menunjukan solidaritas untuk pemerintahan Pangeran Norodom Sihanouk di Kamboja. Vietnam Selatan dan Kamboja memiliki hubungan yang tidak baik: dalam sebuah pidato pada tanggal 22 Mei, Sihanouk menuduh Diệm menganiaya bangsa Vietnam dan etnis minoritas Buddhis Khmer. Times of Vietnam yang pro-Diem menerbitkan sebuah artikel pada tanggal 9 Juni mengklaim para biksu Kamboja yang telah mendorong terjadinya krisis Buddha, dan menegaskan bahwa hal tersebut merupakan bagian dari rencana Kamboja untuk memperluas kebijakan luar negerinya yang netral ke Vietnam Selatan. Flowerree mencatat bahwa Diem "siap dan ingin sekali melihat peran Kamboja dalam semua aksi Buddhis yang telah dilakukan".[32]

Dampak Politik 
Foto bakar diri yang diabadikan oleh Malcolm Browne dengan cepat menyebar dan ditampilkan di halaman depan surat kabar di seluruh dunia. Peristiwa bakar diri ini kemudian dianggap sebagai titik balik dalam krisis Buddha dan berperan penting dalam keruntuhan rezim Diệm.[37]
Sejarawan Seth Jacobs menegaskan bahwa Duc "juga telah menghanguskan ujicoba Amerika Serikat" dan "tidak ada yang bisa memulihkan reputasi Diệm" begitu gambar-gambar Browne telah tertanam ke dalam jiwa masyarakat dunia.[38] Ellen Hammer menggambarkan kejadian tersebut telah "memicu gambaran penganiayaan dan horor yang terkait dengan realitas yang sangat Asia yang tak dapat dipahami orang Barat."[39] John Mecklin, seorang pejabat dari kedutaan AS, mengatakan bahwa foto tersebut "memberikan efek kejut yang tak terkira bagi Buddhis, menjadi simbol keadaan di Vietnam."[37] William Colby, pimpinan Badan Intelijen Pusat Divisi Timur, menyatakan bahwa Diệm telah "menanggapi krisis Buddha dengan cukup buruk dan membiarkannya bertumbuh. Namun saya benar-benar tidak merasa bahwa mereka tak dapat melakukan apa-apa begitu biksu itu membakar dirinya sendiri."[37]
Presiden John F. Kennedy yang mendukung rezim Diệm mengetahui fakta tentang kematian Đức saat mendapat koran pagi ketika sedang berbicara dengan saudaranya, Jaksa Agung Robert F. Kennedy, melalui telepon. Kennedy dilaporkan menghentikan percakapan mereka mengenai segregasi di Alabama dengan berteriak "Yesus Kristus!" Ia kemudian berkata bahwa "tidak ada gambar di surat kabar dalam sejarah yang begitu membangkitkan emosi ke seluruh dunia seperti halnya yang satu ini".[38] Senator AS Frank Church (D-ID), seorang anggota Komite Senat Hubungan Luar Negeri, mengklaim bahwa "adegan mengerikan tersebut belum pernah disaksikan sejak martir Kristen berbaris bergandengan tangan ke dalam arena Romawi."[39]
Di Eropa, foto tersebut dijual di jalanan sebagai kartu pos pada tahun 1960an, dan komunis China mendistribusikan jutaan kopi foto ke Asia dan Afrika sebagai gambaran "imperialisme AS".[36] Salah satu foto Browne ditempel di sedan yang dipakai Đức dan menjadi objek wisata di Huế.[36]

Presiden AS John F. Kennedy mengatakan "tidak ada gambar pada surat kabar dalam sejarah, yang begitu membangkitkan emosi ke seluruh dunia seperti halnya yang satu ini"
Untuk Browne dan Associated Press (AP), gambar tersebut mendorong penjualan. Ray Herndon, wartawan United Press International (UPI) yang lupa mengambil kameranya pada hari itu, mendapat kecaman keras secara pribadi oleh pimpinannya. UPI yang diperkirakan mempunyai 5.000 pembaca di Sydney, yang saat itu berpenduduk sebanyak 1.5–2 juta jiwa, kemudian beralih ke sumber berita AP.[40]
Corong berita bahasa Inggris Diệm, Times of Vietnam, menargetkan serangannya pada kedua jurnalis dan umat Buddhis. Judul utama seperti "Politburo Xá Lợi membuat ancaman baru" dan "rencana pembunuhan biksu" dicetak.[41] Satu artikel mempertanyakan hubungan antara biksu dan pers dengan mengajukan pertanyaan mengapa "banyak para gadis muda yang keluar masuk Xá Lợi pada awal [hari]" dan kemudian menuduh bahwa mereka dibawa untuk memenuhi kebutuhan seksual wartawan AS.[41]
Foto Browne yang memenangkan penghargaan telah direproduksi di media populer selama beberapa dasawarsa, dan insiden ini digunakan sebagai acuan dalam berbagai film dan acara televisi. Artis Peter Hopkins (1911–1999) melukis sebuah gambar antiperang pada tahun 1964 yang menggabungkan adegan bakar diri Đức dengan sebuah adegan yang menggambarkan dirinya pada saat pembakaran pertama, dengan Menteri Pertahanan AS Robert McNamara dan Presiden Diệm sedang dipanggul oleh kuli di latar belakang. Lukisan tersebut, "Ambassador of Goodwill" (C) 1994 M. J. Stutterheim (dengan seluruh perubahan), dapat dilihat di sini.
Salah satu foto bakar diri Quang Duc juga digunakan untuk sampul album debut grup musik rap metal Amerika Serikat Rage Against the Machine yang dikeluarkan pada tahun 1992, dan juga sampul singel mereka Killing in the Name.
(sumber lengkap: wikipedia.org)

 
 

Jumat, 16 Agustus 2013

Benarkah Kita Telah Merdeka?

Hari ini 17 Agustus 2013, Rakyat Indonesia (termasuk aku sendiri) memperingati dan merayakan Hari Kemerdekaan Indonesia yang ke 68. Seluruh bangsa Indonesia merayakannya. Berbagai umbul-umbul dan Bendera Merah Putih berkibar dimana-mana. Suara “MERDEKA” akan terdengar di seluruh wilayah Indonesia.

Indonesia Merdeka!!! Ya .. itu sudah pasti dan sudah 68 tahun, tapi apakah seluruh Rakyat Indonesia
sudah merdeka?? .. Bagaimana dengan mereka yang untuk ke sekolah harus berjalan puluhan kilometer berjalan kaki, bagaimana dengan mereka yang tinggal dipedalaman yang untuk ke sana harus berjalan kaki berhari-hari, bagaimana dengan mereka yang tidak pernah disinari listrik, bagaimana dengan anak kecil yang harus jualan koran untuk bisa sekolah, bagaimana dengan para kuli yang harus mempertaruhkan nyawa mereka hanya untuk memastikan anak mereka, apakah hari ini bisa makan?? .. apakah mereka sudah merdeka??

Para pejabat yang hanya dengan menggoreskan tanda tangan mendapatkan mobil mewah, Mereka yang pusing dengan rekeningnya agar tidak dilirik PPATK, para konglomerat yang menguasai ekonomi dan mengendalikan para boneka. Mereka sudah merdeka dan menikmati kemerdekaan Indonesia.


Apakah aku, kamu, dan kalian sudah merdeka?? Entahlah .. Semoga nurani kita merdeka untuk tidak bermental budak dan tetap ingin mewujudkan Indonesia Merdeka yang sesungguhnya, walaupun hanya melalui celotehan tak berarti ataupun hanya dengan kegalauan yang membuat tak nyenyak tidur. (Ryc Wint)

Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada hari Jumat, tanggal 17 Agustus 1945 tahun Masehi, atau tanggal 17 Agustus 2605 menurut tahun Jepang, yang dibacakan oleh Ir. Soekarno dengan didampingi oleh Drs. Mohammad Hatta bertempat di Jalan Pegangsaan Timur 56Jakarta Pusat.


Indonesian flag raised 17 August 1945.jpgPada tanggal 6 Agustus 1945 sebuah bom atom dijatuhkan di atas kota Hiroshima Jepang oleh Amerika Serikat yang mulai menurunkan moral semangat tentara Jepang di seluruh dunia. Sehari kemudian Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia BPUPKI, atau "Dokuritsu Junbi Cosakai", berganti nama menjadi PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) atau disebut juga Dokuritsu Junbi Inkai dalam bahasa Jepang, untuk lebih menegaskan keinginan dan tujuan mencapai kemerdekaan Indonesia. Pada tanggal 9 Agustus 1945, bom atom kedua dijatuhkan di atas Nagasaki sehingga menyebabkan Jepang menyerah kepada Amerika Serikat dan sekutunya. Momen ini pun dimanfaatkan oleh Indonesia untuk memproklamasikan kemerdekaannya.
Soekarno, Hatta selaku pimpinan PPKI dan Radjiman Wedyodiningrat sebagai mantan ketua BPUPKI diterbangkan ke Dalat, 250 km di sebelah timur laut Saigon, Vietnam untuk bertemu Marsekal Terauchi. Mereka dikabarkan bahwa pasukan Jepang sedang di ambang kekalahan dan akan memberikan kemerdekaan kepada Indonesia. Sementara itu di Indonesia, pada tanggal 10 Agustus 1945, Sutan Syahrir telah mendengar berita lewat radio bahwa Jepang telah menyerah kepada Sekutu. Para pejuang bawah tanah bersiap-siap memproklamasikan kemerdekaan RI, dan menolak bentuk kemerdekaan yang diberikan sebagai hadiah Jepang.
Pada tanggal 12 Agustus 1945, Jepang melalui Marsekal Terauchi di Dalat, Vietnam, mengatakan kepada Soekarno, Hatta dan Radjiman bahwa pemerintah Jepang akan segera memberikan kemerdekaan kepada Indonesia dan proklamasi kemerdekaan dapat dilaksanakan dalam beberapa hari, tergantung cara kerja PPKI.[1] Meskipun demikian Jepang menginginkan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 24 Agustus.
Dua hari kemudian, saat Soekarno, Hatta dan Radjiman kembali ke tanah air dari Dalat, Sutan Syahrir mendesak agar Soekarno segera memproklamasikan kemerdekaan karena menganggap hasil pertemuan di Dalat sebagai tipu muslihat Jepang, karena Jepang setiap saat sudah harus menyerah kepada Sekutu dan demi menghindari perpecahan dalam kubu nasionalis, antara yang anti dan pro Jepang. Hatta menceritakan kepada Syahrir tentang hasil pertemuan di Dalat. Soekarno belum yakin bahwa Jepang memang telah menyerah, dan proklamasi kemerdekaan RI saat itu dapat menimbulkan pertumpahan darah yang besar, dan dapat berakibat sangat fatal jika para pejuang Indonesia belum siap. Soekarno mengingatkan Hatta bahwa Syahrir tidak berhak memproklamasikan kemerdekaan karena itu adalah hak Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Sementara itu Syahrir menganggap PPKI adalah badan buatan Jepang dan proklamasi kemerdekaan oleh PPKI hanya merupakan 'hadiah' dari Jepang (sic).
Indonesia flag raising witnesses 17 August 1945.jpgPada tanggal 14 Agustus 1945 Jepang menyerah kepada Sekutu. Tentara dan Angkatan Laut Jepang masih berkuasa di Indonesia karena Jepang telah berjanji akan mengembalikan kekuasaan di Indonesia ke tangan Sekutu. Sutan Sjahrir, Wikana, Darwis, dan Chaerul Saleh mendengar kabar ini melalui radio BBC. Setelah mendengar desas-desus Jepang bakal bertekuk lutut, golongan muda mendesak golongan tua untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Namun golongan tua tidak ingin terburu-buru. Mereka tidak menginginkan terjadinya pertumpahan darah pada saat proklamasi. Konsultasi pun dilakukan dalam bentuk rapat PPKI. Golongan muda tidak menyetujui rapat itu, mengingat PPKI adalah sebuah badan yang dibentuk oleh Jepang. Mereka menginginkan kemerdekaan atas usaha bangsa kita sendiri, bukan pemberian Jepang.
Soekarno dan Hatta mendatangi penguasa militer Jepang (Gunsei) untuk memperoleh konfirmasi di kantornya di Koningsplein (Medan Merdeka). Tapi kantor tersebut kosong.
Soekarno dan Hatta bersama Soebardjo kemudian ke kantor Bukanfu, Laksamana Muda Maeda, di Jalan Medan Merdeka Utara (Rumah Maeda di Jl Imam Bonjol 1). Maeda menyambut kedatangan mereka dengan ucapan selamat atas keberhasilan mereka di Dalat. Sambil menjawab ia belum menerima konfirmasi serta masih menunggu instruksi dari Tokyo. Sepulang dari Maeda, Soekarno dan Hatta segera mempersiapkan pertemuan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada pukul 10 pagi 16 Agustus keesokan harinya di kantor Jalan Pejambon No 2 guna membicarakan segala sesuatu yang berhubungan dengan persiapan Proklamasi Kemerdekaan.
Sehari kemudian, gejolak tekanan yang menghendaki pengambilalihan kekuasaan oleh Indonesia makin memuncak dilancarkan para pemuda dari beberapa golongan. Rapat PPKI pada 16 Agustus pukul 10 pagi tidak dilaksanakan karena Soekarno dan Hatta tidak muncul. Peserta rapat tidak tahu telah terjadi peristiwa Rengasdengklok.

Perundingan antara golongan muda dan golongan tua dalam penyusunan teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia berlangsung pukul 02.00 - 04.00 dini hari. Teks proklamasi ditulis di ruang makan di laksamana Tadashi Maeda Jln Imam Bonjol No 1. Para penyusun teks proklamasi itu adalah Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, dan Mr. Ahmad Soebarjo. Konsep teks proklamasi ditulis oleh Ir. Soekarno sendiri. Di ruang depan, hadir B.M Diah, Sayuti Melik, Sukarni, dan Soediro. Sukarni mengusulkan agar yang menandatangani teks proklamasi itu adalah Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta atas nama bangsa Indonesia. Teks Proklamasi Indonesia itu diketik oleh Sayuti Melik. Pagi harinya, 17 Agustus 1945, di kediaman Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur 56 telah hadir antara lain Soewirjo, Wilopo, Gafar Pringgodigdo, Tabrani dan Trimurti. Acara dimulai pada pukul 10:00 dengan pembacaan proklamasi oleh Soekarno dan disambung pidato singkat tanpa teks. Kemudian bendera Merah Putih, yang telah dijahit oleh Ibu Fatmawati, dikibarkan, disusul dengan sambutan oleh Soewirjo, wakil walikota Jakarta saat itu dan Moewardi, pimpinan Barisan Pelopor.
Pada awalnya Trimurti diminta untuk menaikkan bendera namun ia menolak dengan alasan pengerekan bendera sebaiknya dilakukan oleh seorang prajurit. Oleh sebab itu ditunjuklah Latief Hendraningrat, seorang prajurit PETA, dibantu oleh Soehoed untuk tugas tersebut. Seorang pemudi muncul dari belakang membawa nampan berisi bendera Merah Putih (Sang Saka Merah Putih), yang dijahit oleh Fatmawati beberapa hari sebelumnya. Setelah bendera berkibar, hadirin menyanyikan lagu Indonesia Raya. Sampai saat ini, bendera pusaka tersebut masih disimpan di Museum Tugu Monumen Nasional.
Setelah upacara selesai berlangsung, kurang lebih 100 orang anggota Barisan Pelopor yang dipimpin S.Brata datang terburu-buru karena mereka tidak mengetahui perubahan tempat mendadak dari Ikada ke Pegangsaan. Mereka menuntut Soekarno mengulang pembacaan Proklamasi, namun ditolak. Akhirnya Hatta memberikan amanat singkat kepada mereka.
Pada tanggal 18 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengambil keputusan, mengesahkan dan menetapkan Undang-Undang Dasar (UUD) sebagai dasar negara Republik Indonesia, yang selanjutnya dikenal sebagai UUD 45. Dengan demikian terbentuklah Pemerintahan Negara Kesatuan Indonesia yang berbentuk Republik (NKRI) dengan kedaulatan di tangan rakyat yang dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang akan dibentuk kemudian.
Setelah itu Soekarno dan M.Hatta terpilih atas usul dari Oto Iskandardinata dan persetujuan dari PPKI sebagai presiden dan wakil presiden Republik Indonesia yang pertama. Presiden dan wakil presiden akan dibantu oleh sebuah Komite Nasional.

P R O K L A M A S I
Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia.
Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan
dengan tjara seksama dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnja.
Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen 05
Atas nama bangsa Indonesia.
Soekarno/Hatta.

 

Bolehkah Merapikan Alis?

Trend kecantikan bagi perempuan terus berkembang. Berbagai cara rela ditempuh oleh kaum hawa untuk tetap tampil menarik. Salon kecantikan menawarkan pula berbagai program perawatan tubuh, dari ujung kaki hingga pucuk kepala.

Ingin sedap dipandang mata, sebagian orang mencukur alis di kedua pelipis matanya. Ada yang merapikannya dengan menggunting bagian tepinya, sebagian lagi merasa kurang puas, hingga harus mencukur habis bulu alisnya. Bagaimana hukum memotong bulu alis dalam perspektif fikih klasik?

Prof Abdul Karim Zaidan dalam Al-Mufashhal fi Ahkam al-Marati wa Bait al Muslim mengatakan, para ulama tidak sepakat terkait hukum memotong atau mencukur bulu alis. Perbedaannya ada pada ketidaksamaan persepsi penafsiran hadis riwayat Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Masud. Hadis itu menyebutkan laknat Allah SWT atas sejumlah kelompok, salah satunya ialah para pencukur alis mata.

Menurut sebagian ulama, larangan mencabut an-namsh alis itu didasari atas sebuah alasan, yaitu guna mengindari penyerupaan atas para ahli maksiat atau dijadikan sebagai modus penipuan dengan menyamar.

Bila kekhawatiran itu tidak terjadi atau kemungkinannya nihil, tak jadi soal mencabut atau menghilangkan alis mata. Pendapat ini diambil oleh Ibn al-Jauzi. Ini seperti dinukilkan dari kitab al-Iqna. Ia merupakan satu-satunya tokoh dari Mazhab Hanbali yang berpandangan demikian.

Ada juga ulama yang memandang bahwa sebetulnya yang dilarang pada hadis riwayat Abdullah bin Masud tersebut ialah menghilangkan alis mata dengan cara mencabut hingga akarnya. Sedangkan, bila hanya mencukur atau menggunting hal itu diperbolehkan. Ini merupakan pendapat yang berlaku di mayoritas Mazhab Hanbali.

Menurut Mazhab Maliki, larangan itu berlaku bagi perempuan yang tidak lagi diperbolehkan berhias secara muluk-muluk. Mereka, misalnya, adalah istri yang ditinggal mati atau dicerai suaminya. Dengan demikian, hadis ini tidak bertentangan dengan riwayat Aisyah RA yang memperbolehkan menghilangkan alis di wajah.

Di kalangan Mazhab Syafii, menurut Syekh Sulaiman al-Jamal as-Syafii, penghilangan alis diperbolehkan bila yang bersangkutan telah mengantongi izin suami. Tindakan itu ia ambil dengan tujuan mempercantik diri dan tampil menarik guna membahagiakan suami. Bila tidak, hukumnya tidak boleh.

Pendapat tersebut juga berlaku di Mazhab Hanafi. Menurut Ibnu Abadin al-Hanafi, mencabut atau mencukur bulu alis dilarang bila hal itu dilakukan untuk bersolek dan mengumbar kecantikannya di hadapan publik. Jika hal itu dilakukan untuk menyenangkan hati suami yang kurang suka dengan alis, tentu penghilangan alis diperbolehkan.

Imam an-Nawawi mengutarakan, ada pengecualian dari kasus larangan mencabut bulu di bagian wajah perempuan. Yaitu, jika tumbuh kumis ataupun jenggot tipis dan bulu halus di sekitar leher. Bulu-bulu tersebut hukumnya boleh dihilangkan, bahkan dianjurkan.

(Ric Wynt)