Aksi bakar diri ini kemudian dianggap sebagai titik balik dalam
Krisis Buddha dan berperan penting dalam
menggulingkan Diệm, yang kemudian
dibunuh pada tanggal 2 November 1963. Foto kejadian tersebut, yang membuat
Malcolm Browne mendapatkan sebuah
Penghargaan Pulitzer,
mendatangkan simpati terhadap biksu-biksu Vietnam dan desakan terhadap
rezim Diệm dari segala penjuru dunia. Sejumlah biksu Vietnam lainnya
mengikuti jejak Quang Duc dengan membakar diri setelah tekanan terhadap
mereka semakin gencar. Aksi bakar diri ini pun ditiru oleh sejumlah
pemrotes
perang Vietnam di
Amerika Serikat beberapa tahun kemudian.
Riwayat hidup Quang Duc tercatat dari informasi beberapa organisasi Buddha. Tercatat bahwa ia lahir di desa
Hoi Khanh,
distrik Van Ninh,
provinsi Khanh Hoa, Vietnam. Saat lahir, ia bernama
Lam Van Tuc,
satu dari tujuh anak yang lahir dari pasangan Lam Huu Ung dan istrinya,
Nguyen Thi Nuong. Saat berusia 7 tahun, ia mempelajari Buddhisme di
bawah bimbingan Hòa thượng Thích Hoằng Thâm, yang merupakan paman dan
guru spiritualnya. Thích Hoằng Thâm membesarkannya dan Lam Van Tuc
mengganti namanya menjadi
Nguyen Van Khiet. Pada usia 15 tahun, ia menjadi
samanera dan menjadi seorang
biksu pada usia 20 dengan
nama dharma Thich Quang Duc. Setelah diangkat, ia pergi ke sebuah pegunungan di dekat
Ninh Hòa
dan bersumpah untuk menjalani kehidupan Buddhisme yang tenang, sehingga
bertapa selama tiga tahun. Ia nantinya akan kembali untuk membuka
pagoda Thien Loc di pegunungan tempat ia menyepi.
[4][5]
Setelah masa isolasi dirinya selesai, ia kemudian mengelilingi Vietnam tengah untuk menjelaskan
dharma. Setelah dua tahun, beliau menyepi di pagoda Sac Tu Thien An di dekat
Nha Trang.
Pada tahun 1932, ia menjadi pengawas Asosiasi Buddhis di Ninh Hòa
sebelum menjadi pengawasbiksu di tempat tinggalnya di provinsi Khánh
Hòa. Selama periode ini, di Vietnam tengah, ia membangun 14 kuil.
[6]
Pada tahun 1934, ia pindah dan berkelana di Vietnam bagian selatan
untuk menyebarkan ajaran Buddha. Pada masanya di Vietnam selatan, ia
juga menghabiskan dua tahun di Kamboja untuk mempelajari tradisi
Buddhisme Theravada.
Sekembalinya dari Kamboja, ia mengawasi pembangunan 17 kuil baru di
daerah selatan. Kuil terakhir dari 31 kuil baru yang ia bangun adalah
pagoda
Quan The Am di distrik
Phu Nhuan,
Gia Dinh, di pinggiran kota
Saigon.
[6]
Jalan tempat berdirinya kuil tersebut kini dinamai dari Quang Duc.
Setelah pembangunan kuil selesai, Đức ditunjuk untuk menjadi Ketua Ritus
Seremonial Kongregasi Biksu Vietnam, dan sebagai kepala pagoda Phuoc
Hoa, yang merupakan tempat awal Asosiasi Pembelajaran Buddhis Vietnam
(ABSV).
[6] Ketika pusat ABSV berpindah tempat ke
Pagoda Xa Loi, pagoda utama Saigon, Đức mengundurkan diri.
Di sebuah negara yang menurut survei agama pada waktu itu antara 70 hingga 90 persen penduduknya memeluk Buddhisme,
[7][8][9][10] Presiden
Diem merupakan seorang minoritas
Katolik dan kerap melakukan tindak diskriminatif, penyiksaan, dan pembunuhan terhadap umat Buddha untuk meng-Katolik-kan Vietnam.
[11]
Diệm pernah memberitahu seorang perwira tinggi (dan lupa lupa bahwa
perwira tersebut merupakan seorang Buddhis) agar "menempatkan perwira
Katolikmu di tempat sensitif. Mereka dapat dipercaya."
[12] Beberapa perwira di
Angkatan Bersenjata Republik Vietnam berpindah agama menjadi Katolik Roma karena prospek militer mereka bergantung kepada hal tersebut.
[12]
Selain itu, senjata api hanya dibagikan ke milisi pertahanan desa yang
beragama Katolik, sementara beberapa orang Buddha di angkatan bersenjata
tidak akan dinaikan pangkat bila tidak menjadi Katolik.
[13]
Beberapa pendeta Katolik Roma pun juga memiliki pasukan pribadi.
[14]
Mereka melakukan pengubahan agama paksa serta menjarah, menembaki, dan
menghancurkan pagoda di beberapa area, sementara pemerintah menutup
mata.
[15] Beberapa desa Buddha menjadi Katolik secara massal untuk mendapatkan bantuan atau menghindari pemindahan paksa oleh rezim Diệm.
[16]
Status "privat" yang ditetapkan oleh Perancis untuk Buddhisme, yang
mewajibkan mereka yang hendak mengadakan kegiatan Buddhisme di depan
umum untuk memiliki izin resmi, tidak dicabut oleh Diệm.
[17] Orang Katolik juga secara
de facto
dibebaskan dari kerja paksa yang wajib dilakukan oleh semua warga
negara, sementara bantuan dari Amerika Serikat tidak dibagikan secara
proporsional dan diberikan lebih banyak ke desa yang mayoritas beragama
Katolik.
[18]
Gereja Katolik Roma merupakan pemilik lahan terbesar di Vietnam
Selatan dan memperoleh pengecualian khusus dalam akuisisi properti,
sementara lahan milik Gereja Katolik Roma dibebaskan dari reformasi
lahan.
[19] Bendera Vatikan selalu dikibarkan di semua acara besar umum di Vietnam Selatan,
[20] dan Diệm mendedikasikan negaranya kepada
Bunda Maria pada tahun 1959.
[18]
Ketidakpuasan orang Buddha meletus menyusul sebuah larangan pada awal Mei untuk tidak mengibarkan
bendera Buddhis di
Huế pada hari
Waisak, hari kelahiran
Buddha Gautama. Beberapa hari sebelumnya, umat Katolik diajak mengibarkan
bendera Vatikan pada acara perayaan untuk Uskup Agung Hue
Ngo Dinh Thuc,
kakak Diem. Massa Buddha menolak larangan tersebut dan menentang
pemerintah dengan mengibarkan bendera Buddhis pada hari Waisak serta
bergerak ke stasiun siaran pemerintah. Pasukan pemerintah kemudian
menembaki kelompok tersebut, sehingga menewaskan sembilan orang. Diệm
menolak bertanggung jawab dan menyalahkan
Viet Cong, sehingga semakin banyak muncul demonstrasi Buddhis yang menuntut kesetaraan agama.
[21] Tuntutan mereka meliputi:
- Pencabutan pelarangan pengibaran bendera Buddhis
- Kebebasan beragama seperti umat Katolik
- Agar tidak memandang agama sebagai asosiasi
- Penghentian penganiayaan orang Buddha
- Kompensasi untuk korban penembakanHue dan penghukuman para pelaku
Meskipun demikian, Diem tetap tidak mau memenuhi tuntutan Buddhis, sehingga frekuensi protes pun meningkat.
Aksi Bakar Diri
Pada tanggal
10 Juni 1963, koresponden AS diinformasikan bahwa
"sesuatu yang penting" akan terjadi esok hari di sebuah jalan di luar
kedutaan Kamboja di Saigon.
[23] Sebagian besar wartawan mengabaikan pesan tersebut karena
krisis Buddha telah berlangsung selama lebih dari sebulan, dan hari berikutnya hanya beberapa jurnalis yang muncul, seperti
David Halberstam dari
The New York Times dan
Malcolm Browne, kepala biro
Associated Press Saigon.
[23]
Đức tiba sebagai bagian dari prosesi pada sebuah pagoda didekat situ.
Sekitar 350 biksu dan biksuni berbaris dalam dua ruas, didahului oleh
sebuah
sedan Westminster buatan
Austin yang membawa spanduk yang dicetak dalam bahasa Inggris dan
Vietnam. Mereka mengecam pemerintahan Diệm dan kebijakannya terhadap kaum Buddhis, serta menuntut pemenuhan janji kesetaraan agama.
[23] Biksu lain sempat menawarkan dirinya, namun tunduk kepada senioritas Đức.
[2]
Peristiwa itu terjadi di persimpangan
[b]
Jalan Phan Đình Phùng (sekarang Jalan Nguyen Dinh Chieu) dan Jalan Le
Van Duyet (sekarang Jalan Cach Mạng Thang Tam) yang terletak di barat
daya Istana Presidensial (sekarang Istana Reunifikasi). Duc keluar dari
mobil tersebut bersama dua biksu lainnya. Salah satu biksu menempatkan
alas duduk di tengah jalan sementarabiksu kedua membuka bagasi dan
mengeluarkan lima galon
bensin. Orang-orang lalu membentuk lingkaran mengelilinginya, dan Duc kemudian duduk dalam
posisi teratai
(yang perupakan posisi meditasi Buddha tradisional) di atas alas duduk.
Seorang murid menyiramkan seluruh kontainer bensin ke tubuh Đức. Đức
memutar
kalung doa yang terbuat dari kayu dan membacakan paritta
Nianfo ("penghormatan untuk
Buddha Amitābha")
sebelum korek api dinyalakan dan api membakar dirinya. Api pun melahap
jubahnya dan tubuhnya, dan asap berwarna hitam keluar dari tubuhnya yang
terbakar.
[23][24]
Kata-kata terakhir Quang Duc sebelum membakar diri dicatat di dalam sebuah surat yang ia tinggalkan:
Sebelum menutup mataku dan mendekatkan diriku kepada Buddha, dengan penuh rasa hormat aku meminta kepada Presiden
Ngo Dinh Diem
untuk menunjukkan sedikit rasa belas kasih kepada rakyat dan
memberlakukan kesetaraan agama untuk mempertahankan kekuatan negeri ini
selamanya. Aku juga memanggil mereka yang dimuliakan, mereka yang
terhormat, anggota-anggota
sangha, dan Buddhis awam untuk secara solider melakukan pengorbanan dalam rangka melindungi Buddhisme.
[4]
David Halberstam mengatakan:
Aku hendak mengamati lagi, tetapi sekali saja sudah
cukup. Api itu datang dari seorang manusia; tubuhnya secara perlahan
mengering, kepalanya menghitam dan menjadi arang. Di udara tercium bau
daging manusia terbakar; seorang manusia secara mengejutkan terbakar
dengan cepat. Di belakangku, aku bisa mendengar isak para warga Vietnam
yang sekarang berkumpul. Aku terlalu syok untuk menangis, terlalu
bingung untuk mencatat atau mengajukan pertanyaan, dan terlalu bingung
untuk berpikir ... Ketika ia terbakar, ia tidak pernah bergerak
sedikitpun, tidak membuat suara, ketenangannya berlawanan dengan
orang-orang yang meratap di sekelilingnya.
[25]
Polisi mencoba menjangkaunya, namun tidak dapat menembus barisan
lingkaran yang dibuat oleh para Buddhis. Salah satu polisi bahkan
bersujud di hadapan Duc untuk menghormati.
[2]
Para penonton kebanyakan hanya tertegun diam, namun beberapa
diantaranya menangis dan mengucapkan doa. Banyak biksu dan biksuni,
serta beberapa orang lewat yang syok, bersujud di hadapan sang biksu
yang terbakar.
[2]
Dalam bahasa Inggris dan Vietnam, seorang biksu berbicara melalui sebuah mikrofon,
"Seorang pendeta Buddha membakar dirinya sampai mati. Seorang pendeta Buddha menjadi seorang martir."
Setelah terbakar selama sepuluh menit, seluruh tubuh Duc telah hangus
semua dan tubuhnya terjatuh ke belakang dan punggungnya terbaring.
Setelah api padam, sekelompok biksu menutupi tubuhnya dengan jubah
kuning, mengangkatnya dan memasukannya ke dalam sebuah peti, namun salah
satu anggota tubuh tidak bisa diluruskan dan salah satu lengannya
keluar dari kotak kayu saat dibawa ke pagoda Xá Lợi di Saigon tengah. Di
luar pagoda, seorang pelajar memasang sebuah spanduk yang bertuliskan:
"Seorang pendeta Buddha telah membakar dirinya demi lima permintaan kita."[23]
Pada pukul 13.30, sekitar seribu biksu berkumpul untuk mengadakan
pertemuan sementara sekumpulan besar pelajar pro-Buddhis berjaga-jaga di
sekelilingnya. Pertemuan segera berakhir dan semua kecuali ratusan
biksu meninggalkan tempat secara perlahan. Hampir seribu biksu beserta
warga sipil kembali ke tempat pembakaran. Sementara itu, para polisi
terus berkeliling. Pada pukul 18.00, 30 biksuni dan enam biksu ditangkap
karena mengadakan doa bersama di jalan di luar Xá Lợi. Polisi mengepung
pagoda, melarang orang masuk dan membuat pengamanan ketat dengan
pasukan bersenjata yang dilengkapi perlengkapan anti huru-hara.
[26]
Sore itu, ribuan warga Saigon mengklaim telah melihat kenampakan wajah
Buddha di langit saat matahari terbenam. Mereka mengklaim bahwa dalam
kenampakan tersebut Buddha sedang menangis.
Dampak Dari Aksi Bakar Diri
Setelah aksi bakar diri tersebut, AS memerintahkan Diệm untuk membuka
kembali perundingan. Diệm kemudian menjadwalkan pertemuan kabinet
darurat pada saat pukul 11.30 pada tanggal 11 Juni untuk mendiskusikan
krisis Buddha yang ia yakini akan mereda. Akibat kematian Quang Duc,
Diệm membatalkan pertemuan dan bertemu secara pribadi dengan
menteri-menterinya. Pemangku Jabatan (
acting) Duta Besar AS di Vietnam Selatan
William Trueheart memperingatkan
Nguyen Dinh Thuan,
Sekretaris Negara Diệm, untuk segera menyelenggarakan sebuah
perundingan, dan berkata bahwa situasi tersebut "berbahaya karena hampir
kritis" dan mengharapkan agar Diệm memenuhi lima hal yang diminta umat
Buddhis.
Sekretaris Negara Amerika Serikat Dean Rusk memperingatkan kedutaan Saigon bahwa
Gedung Putih akan secara terbuka mengumumkan tidak akan lagi "mengasosiasikan diri" dengan rezim jika hal tersebut tidak dilakukan.
[27] Sebuah
Komunike Bersama dan konsesi untuk kaum Buddhis ditandatangani pada tanggal 16 Juni.
[28]
15 Juni menjadi tanggal yang dipilih untuk melangsungkan pemakaman,
dan pada hari itu 4.000 orang berkumpul di luar pagoda Xá Lợi, namun
acara tersebut ditunda. Pada tanggal 19 Juni, tubuh Đức dibawa dari Xa
Loi menuju permakaman 16 kilometer (9.9 mil) di sebelah selatan kota
untuk dikremasi ulang dan pemakaman. Setelah penandatanganan Komunike
Bersama, berdasarkan persetujuan hanya sekitar 400 biksu yang boleh
hadir.
Pengawetan Jantung Dan Simbolis
Tubuhnya di
kremasi ulang saat pemakaman, namun jantung Đức tetap utuh dan tidak terbakar.
[2] Jantung tersebut kemudian dianggap suci dan diletakkan didalam sebuah cawan di
Pagoda Xa Loi.
[3] Relik jantung yang masih utuh
[2] tersebut dianggap sebagai sebuah simbol kasih sayang. Duc kemudian dihormati oleh umat Buddhis Vietnam sebagai seorang
bodhisatwa (
Bồ Tát), dan karenanya sering disebut dalam bahasa Vietnam dengan sebutan Bồ Tát Thích Quảng Đức.
[29][4] Pada 21 Agustus,
Pasukan Khusus ARVN
yang dipimpin Nhu menyerang Xa Loi dan pagoda Buddhis lainnya di
Vietnam. Polisi rahasia dikerahkan untuk merebut abu Duc, namun dua
biksu berhasil kabur membawanya pergi, melompati pagar bagian belakang
dan mencari perlindungan di sebelah Misi Operasi AS.
[30] Pasukan Nhu berhasil merampas jantung hangus Đức.
[31]
Muncul pertanyaan mengenai apakah lokasi yang dipilih untuk aksi
bakar diri, yaitu di depan kedutaan besar Kamboja, hanyalah merupakan
kebetulan belaka atau merupakan pilihan simbolis. Trueheart dan petugas
kedutaan Charles Flowerree merasa bahwa lokasi tersebut dipilih untuk
menunjukan solidaritas untuk pemerintahan Pangeran
Norodom Sihanouk
di Kamboja. Vietnam Selatan dan Kamboja memiliki hubungan yang tidak
baik: dalam sebuah pidato pada tanggal 22 Mei, Sihanouk menuduh Diệm
menganiaya bangsa Vietnam dan etnis minoritas Buddhis
Khmer.
Times of Vietnam
yang pro-Diem menerbitkan sebuah artikel pada tanggal 9 Juni mengklaim
para biksu Kamboja yang telah mendorong terjadinya krisis Buddha, dan
menegaskan bahwa hal tersebut merupakan bagian dari rencana Kamboja
untuk memperluas kebijakan luar negerinya yang netral ke Vietnam
Selatan. Flowerree mencatat bahwa Diem
"siap dan ingin sekali melihat peran Kamboja dalam semua aksi Buddhis yang telah dilakukan".
[32]
Dampak Politik
Foto bakar diri yang diabadikan oleh
Malcolm Browne
dengan cepat menyebar dan ditampilkan di halaman depan surat kabar di
seluruh dunia. Peristiwa bakar diri ini kemudian dianggap sebagai titik
balik dalam
krisis Buddha dan berperan penting dalam keruntuhan rezim Diệm.
[37]
Sejarawan
Seth Jacobs menegaskan bahwa Duc
"juga telah menghanguskan ujicoba Amerika Serikat" dan
"tidak ada yang bisa memulihkan reputasi Diệm" begitu gambar-gambar Browne telah tertanam ke dalam jiwa masyarakat dunia.
[38] Ellen Hammer
menggambarkan kejadian tersebut telah "memicu gambaran penganiayaan dan
horor yang terkait dengan realitas yang sangat Asia yang tak dapat
dipahami orang Barat."
[39] John Mecklin, seorang pejabat dari kedutaan AS, mengatakan bahwa foto tersebut "memberikan efek kejut yang tak terkira bagi Buddhis, menjadi simbol keadaan di Vietnam."
[37] William Colby, pimpinan Badan Intelijen Pusat Divisi Timur, menyatakan bahwa Diệm telah
"menanggapi krisis Buddha dengan cukup buruk dan membiarkannya
bertumbuh. Namun saya benar-benar tidak merasa bahwa mereka tak dapat
melakukan apa-apa begitu biksu itu membakar dirinya sendiri."
[37]
Presiden
John F. Kennedy
yang mendukung rezim Diệm mengetahui fakta tentang kematian Đức saat
mendapat koran pagi ketika sedang berbicara dengan saudaranya,
Jaksa Agung Robert F. Kennedy, melalui telepon. Kennedy dilaporkan menghentikan percakapan mereka mengenai segregasi di
Alabama dengan berteriak "Yesus Kristus!" Ia kemudian berkata bahwa
"tidak ada gambar di surat kabar dalam sejarah yang begitu membangkitkan emosi ke seluruh dunia seperti halnya yang satu ini".
[38] Senator AS
Frank Church (D-ID), seorang anggota
Komite Senat Hubungan Luar Negeri, mengklaim bahwa
"adegan mengerikan tersebut belum pernah disaksikan sejak martir Kristen berbaris bergandengan tangan ke dalam arena Romawi."[39]
Di Eropa, foto tersebut dijual di jalanan sebagai kartu pos pada tahun 1960an, dan
komunis China mendistribusikan jutaan kopi foto ke Asia dan Afrika sebagai gambaran "imperialisme AS".
[36] Salah satu foto Browne ditempel di sedan yang dipakai Đức dan menjadi objek wisata di
Huế.
[36]
Presiden AS
John F. Kennedy
mengatakan
"tidak ada gambar pada surat kabar dalam sejarah, yang
begitu membangkitkan emosi ke seluruh dunia seperti halnya yang satu
ini"
Untuk Browne dan
Associated Press (AP), gambar tersebut mendorong penjualan. Ray Herndon, wartawan
United Press International
(UPI) yang lupa mengambil kameranya pada hari itu, mendapat kecaman
keras secara pribadi oleh pimpinannya. UPI yang diperkirakan mempunyai
5.000 pembaca di Sydney, yang saat itu berpenduduk sebanyak 1.5–2 juta
jiwa, kemudian beralih ke sumber berita AP.
[40]
Corong berita
bahasa Inggris Diệm,
Times of Vietnam,
menargetkan serangannya pada kedua jurnalis dan umat Buddhis. Judul
utama seperti "Politburo Xá Lợi membuat ancaman baru" dan "rencana
pembunuhan biksu" dicetak.
[41]
Satu artikel mempertanyakan hubungan antara biksu dan pers dengan
mengajukan pertanyaan mengapa "banyak para gadis muda yang keluar masuk
Xá Lợi pada awal [hari]" dan kemudian menuduh bahwa mereka dibawa untuk
memenuhi kebutuhan seksual wartawan AS.
[41]
Foto Browne yang memenangkan penghargaan telah direproduksi di media
populer selama beberapa dasawarsa, dan insiden ini digunakan sebagai
acuan dalam berbagai film dan acara televisi. Artis Peter Hopkins
(1911–1999) melukis sebuah gambar antiperang pada tahun 1964 yang
menggabungkan adegan bakar diri Đức dengan sebuah adegan yang
menggambarkan dirinya pada saat pembakaran pertama, dengan Menteri
Pertahanan AS
Robert McNamara
dan Presiden Diệm sedang dipanggul oleh kuli di latar belakang. Lukisan
tersebut, "Ambassador of Goodwill" (C) 1994 M. J. Stutterheim (dengan
seluruh perubahan), dapat dilihat
di sini.
Salah satu foto bakar diri Quang Duc juga digunakan untuk sampul
album debut grup musik
rap metal Amerika Serikat Rage Against the Machine yang dikeluarkan pada tahun 1992, dan juga sampul
singel mereka
Killing in the Name.
(sumber lengkap:
wikipedia.org)